Selir dalam bahasa Jawa halus disebut garwa ampeyan.
Selir dalam bahasa Jawa halus disebut
garwa ampeyan, atau yang diartikan sebagai seorang wanita yang telah
diikat oleh tali kekeluargaan oleh seorang lelaki, tetapi tidak
berstatus istri.
Status selir di bawah istri dan tugasnya membuat laki-laki itu selalu senang. Itu sebabnya, selir juga disebut klangenan. Hamengkubuwono II diketahui memiliki empat permaisuri dan 26 selir. Sementara itu, Pakubuwono X dinobatkan menjadi raja Jawa dengan selir terbanyak, 40 orang.
Peran selir dan permaisuri berbeda. Permaisuri resmi mendampingi raja sehari-hari dalam urusan kerajaan, sedangkan para selir hanya melayani kebutuhan raja dalam urusan rumah tangga dan soal seks. Serat Kresnayana, Gatotkacasraya, dan Sutasomajuga membahas banyak aspek kehidupan para perempuan keraton.
Beberapa orang selir raja adalah putri-putri bangsawan yang dengan sengaja diserahkan ayahnya sebagai tanda kesetiaan dan sebagian lagi sebagai persembahan dari kerajaan-kerajaan lain.
Ada pula selir yang berasal dari masyarakat kelas bawah yang dijual, atau diserahkan keluarganya dengan tujuan untuk meningkatkan posisi keluarga, agar memiliki hubungan darah dengan keluarga istana.
Jika akan menjadi calon selir, ada beberapa persiapan yang harus dilakukan, yakni dibekali dengan kemahiran membatik, menari, dan pemahaman sopan santun, serta etika budaya keraton.
Pada usia 10 – 12 tahun, calon selir diperkenalkan kepada kalangan istana oleh orangtua mereka, setidaknya yang berpangkat mantri. Pada awalnya, calon priyantun dalem ini menjadi penari keraton, atau bedhaya. Ketika pada akhirnya mereka menjadi selir, mereka telah naik pangkat .
Dahulu, tradisi di keraton Surakarta, ada abdi dalem yang mengirimkan anak gadisnya (minimal berusia 12 tahun) ke Keraton. Resminya mereka diminta untuk belajar tari Bedhaya. Mereka kerap disebut para Bedhaya.
“Selain menjadi penari, orangtuanya punya niat dengan mengirimkan anak gadisnya ke Keraton berharap, agar anaknya dinikahi Raja sebagai istri selir,” ujar Budayawan jawa, Dani Maharsa.
Jika raja memerintahkan punggawanya, agar membawa seorang peloro-loro, penari bedhaya ke kamar, itulah awalnya gadis penari menjadi selir. Keluarga wanita itu akan bangga luar biasa.
Pelajaran tari bagi para bedhaya itu disindir sebagai magang. Bukan sekali dua raja menyukai lebih dari satu bedhaya. Siapa yang disukai raja, bisa dengan mudah memperoleh hadiah yang mahal-mahal. Perempuan yang dijadikan selir berasal dari daerah yang tersohor, banyak menyimpan gadis cantik nan rupawan.
Laporan penelitian Koentjoro (1989) mengidentifikasi, terdapat 11 kabupaten di Jawa, yang dalam lembaran sejarah terkenal sebagai pemasok perempuan untuk kerajaan. Daerah tersebut antara lain Wonogiri, Jepara, Pati, Blitar, Lamongan, Malang, Banyuwangi, Grobogan, dan lainnya.
Ada punggawa khusus istana yang mengatur jadwal. Para selir harus sabar mendapatkan giliran bercengkerama dengan raja. Raja pun terikat pada jadwal gilir. Rupanya, pemerataan pun mesti dijaga. Tanpa jadwal dan petugas, dikhawatirkan raja hanya memanggil selir yang diingatnya saja.
Status selir di bawah istri dan tugasnya membuat laki-laki itu selalu senang. Itu sebabnya, selir juga disebut klangenan. Hamengkubuwono II diketahui memiliki empat permaisuri dan 26 selir. Sementara itu, Pakubuwono X dinobatkan menjadi raja Jawa dengan selir terbanyak, 40 orang.
Peran selir dan permaisuri berbeda. Permaisuri resmi mendampingi raja sehari-hari dalam urusan kerajaan, sedangkan para selir hanya melayani kebutuhan raja dalam urusan rumah tangga dan soal seks. Serat Kresnayana, Gatotkacasraya, dan Sutasomajuga membahas banyak aspek kehidupan para perempuan keraton.
Beberapa orang selir raja adalah putri-putri bangsawan yang dengan sengaja diserahkan ayahnya sebagai tanda kesetiaan dan sebagian lagi sebagai persembahan dari kerajaan-kerajaan lain.
Ada pula selir yang berasal dari masyarakat kelas bawah yang dijual, atau diserahkan keluarganya dengan tujuan untuk meningkatkan posisi keluarga, agar memiliki hubungan darah dengan keluarga istana.
Jika akan menjadi calon selir, ada beberapa persiapan yang harus dilakukan, yakni dibekali dengan kemahiran membatik, menari, dan pemahaman sopan santun, serta etika budaya keraton.
Pada usia 10 – 12 tahun, calon selir diperkenalkan kepada kalangan istana oleh orangtua mereka, setidaknya yang berpangkat mantri. Pada awalnya, calon priyantun dalem ini menjadi penari keraton, atau bedhaya. Ketika pada akhirnya mereka menjadi selir, mereka telah naik pangkat .
Dahulu, tradisi di keraton Surakarta, ada abdi dalem yang mengirimkan anak gadisnya (minimal berusia 12 tahun) ke Keraton. Resminya mereka diminta untuk belajar tari Bedhaya. Mereka kerap disebut para Bedhaya.
“Selain menjadi penari, orangtuanya punya niat dengan mengirimkan anak gadisnya ke Keraton berharap, agar anaknya dinikahi Raja sebagai istri selir,” ujar Budayawan jawa, Dani Maharsa.
Jika raja memerintahkan punggawanya, agar membawa seorang peloro-loro, penari bedhaya ke kamar, itulah awalnya gadis penari menjadi selir. Keluarga wanita itu akan bangga luar biasa.
Pelajaran tari bagi para bedhaya itu disindir sebagai magang. Bukan sekali dua raja menyukai lebih dari satu bedhaya. Siapa yang disukai raja, bisa dengan mudah memperoleh hadiah yang mahal-mahal. Perempuan yang dijadikan selir berasal dari daerah yang tersohor, banyak menyimpan gadis cantik nan rupawan.
Laporan penelitian Koentjoro (1989) mengidentifikasi, terdapat 11 kabupaten di Jawa, yang dalam lembaran sejarah terkenal sebagai pemasok perempuan untuk kerajaan. Daerah tersebut antara lain Wonogiri, Jepara, Pati, Blitar, Lamongan, Malang, Banyuwangi, Grobogan, dan lainnya.
Ada punggawa khusus istana yang mengatur jadwal. Para selir harus sabar mendapatkan giliran bercengkerama dengan raja. Raja pun terikat pada jadwal gilir. Rupanya, pemerataan pun mesti dijaga. Tanpa jadwal dan petugas, dikhawatirkan raja hanya memanggil selir yang diingatnya saja.
0 comments:
Post a Comment