Monday 6 July 2015

Wacana tentang masuknya Islam ke Indonesia, masih menyisakan perdebatan panjang di kalangan para ahli. Setidaknya ada tiga masalah pokok yang menjadi perbedaan. Tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya. Berbagai teori berusaha menjawab tiga masalah pokok ini dan nampaknya belum tuntas karena kurangnya data pendukung dari masing-masing teori. Pula, ada kecenderungan dari teori-teori yang menekankan salah satu aspek dan mengabaikan aspek-aspek yang lain.


Paling tidak, ada tiga teori yang dikembangkan para ahli mengenai masuknya Islam di Indonesia: “Teori Gujarat”, “Teori Persia”, dan “Teori Arabia”. Teori Gujarat dianut oleh kebanyakan ahli dari Belanda. Penganut teori ini memegang keyakinan bahwa asal muasal Islam di Indonesia dari Anak Benua India, bukan dari Persia atau Arabia.

Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah Pijnappel dari Universitas Leiden, Belanda. Menurut Pijnappel, aorang-orang Arab yang bermazhab Syafi’i yang bermigrasi dan menetap di wilayah India kemudian membawa Islam ke Indonesia. (Azra, 1998: 24)

Teori ini kemudian dikembangkan oleh Snouck Hurgronje. Teori ini lebih menitikberatkan pandangannya ke Gujarat sebagai asal berdasarkan: Pertama, kurangya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran agama Islam ke Indonesia. Kedua, hubungan dagang Indonesia-India telah lama terjalin lama. Ketiga, inskripsi tertua tentang Islam yang terdapat di Sumatera memberikan gambaran hubungan antara Sumatera dengan Gujarat. (Suryanegara, 1998: 75)

Pandangan Snouck Hurgronje yang demikian ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap para sejarawan Barat dan berpengaruh juga terhadap sejarawan Indonesia. Sampai hari ini kita masih mendapati buku terbaru yang menyebut Gujarat sebagai asal masuknya agama Islam ke Nusantara. Sejalan dengan pendapat di atas ini, Moquette, seorang sarjana Belanda. Ia mendasarkan kesimpulannya setelah mengamati bentuk batu nisan di Pasai, kawasan utara Sumatera yang bertanggal 17 Dzulhijjah 1831 H/27 September 1428. Batu nisan yang mirip ditemukan di makam Maulana Malik Ibrahim (w.1822/1419) di Gresik, Jawa Timur.
Berdasarkan contoh-contoh batu nisan ini ia berkesimpulan, bahwa batu nisan di Cambay, Gujarat dihasilkan bukan hanya untuk pasar lokal tetapi juga untuk diekspor ke kawasan lain, termasuk Sumatera dan Jawa. Selanjutnya, dengan mengimpor batu nisan dari Gujarat, orang-orang Indonesia juga mengambil Islam dari sana. (Azra,1998:24-25)

Sarjana Belanda lainnya, W.F. Stuterheim menyatakan masuknya agama Islam ke Nusantra pada abad ke-13 Masehi. Pendapat ini didasarkan pada bukti batu nisan sultan pertama dari Kerajaan Samudera Pasai, yakni Malik Al-Saleh pada tahun 1297. Selanjutnya tentang asal negara yang mempengaruhi masuknya Islam ke Indonesia adalah Gujarat dengan alasan bahwa Islam disebarkan melalui jalur perdagangan Indonesia-Cambay (India)-Timur Tengah–Eropa. Di samping itu, Stuterheim memperkuat alasannya bahwa relief batu nisan Sultan Malik Al-Saleh bersifat Hinduistis yang mempunyai kesamaan dengan batu nisan di Gujarat. (Suryanegara,1998: 76).

Dengan demikian, dari pandangan para ahli di atas, baik Pijnapel, Hurgronje, Moquette, maupun Stutterheim, dapat disimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia dari Gujarat India pada abad XIII-XIV Masehi melalui jalur perdagangan.
Masih dalam konteks Teori Gujarat, J.C. Van Leur menyatakan bahwa pada tahun 674 M di pantai barat Sumatera telah terdapat perkampungan Islam. Dengan pertimbangan bahwa bangsa Arab telah mendirikan perkampungan di Kanton pada abad IV M. Perkampungan ini mulai dibicarakan lagi pada tahun 618 dan 626. Pada perkembangan selanjutnya, perkampungan ini ternyata mempraktekkan ajaran Islam seperti yang terdapat di sepanjang jalan perdagangan Asia Tenggara. (Suryanegara, ibid.)
Berdasarkan keterangan Van Leur, disimpulkan bahwa masuknya Islam ke Nusantara tidaklah terjadi pada abad ke-13, melainkan pada Abad ke-7. Sedangkan Abad ke-13 adalah masa perkembangan Islam. Perluasan lebih lanjut terjadi pada abad ke-16, sebagai akibat perubahan politik di India.

Perkembangan Islam pada abad XIII sebagai akibat terjadinya jalur perdagangan, yang tadinya melalui Selat Sunda, berubah melewati selat Malaka. Perubahan mempengaruhi timbulnya pusat perdagangan di selat Malaka. Perluasan lebih lanjut ditunjang oleh perubahan politik di India, yakni runtuhnya kekuasaan Brahmana yang digantikan kekuatan Mongol (1526 M) dan diikuti jatuhnya kerajaan Vijayanagar (1556). Perubahan politik inilah yang mempengaruhi perkembangan Islam di Indonesia. (Suryanegara, 1998: 77).

Pandangan Van Leur mempunyai kesamaan dengan pendapat TW Arnold tentang waktu masuknya Islam ke Indonesia, yaitu pada abad VII. Tetapi, Van Leur tidak dapat melepaskan pandangan bahwa Islam masuk Indonesia dari India, seperti pandangan para ahli sebelumnya. Di samping itu, mereka mengakui adanya bangsa Arab yang membawa Islam. (Suryanegara, ibid.).

Leur juga menginformasikan bahwa motivasi para bupati masuk Islam adalah untuk mempertahankan kekuasaanya. Dengan demikian, informasi ini memberikan gambaran bahwa sebelumnya Islam telah menjadi agama rakyat yang kemudian disusul oleh para penguasa. Dengan demikian, kajian tentang awal masuknya Islam ke Indonesia mestinya tidak didasarkan kepada saat timbulnya kekuasaan politik, tapi perlu juga memperhatikan perkembangan Islam di tengah masyarakat. (Suryanegara, ibid.)
Tetapi, pada umumnya para penulis memusatkan perhatiannya pada awal timbulnya kekusaan politik. Bernard Vlekke misalnya. Berdasarkan laporan Marcopolo yang pernah singgah di Sumatera pada tahun 1929, digambarkan bahwa situasi di ujung utara Sumatera, daerah Perlak (Aceh) penduduknya telah memeluk agama Islam. Vlekke menandaskan bahwa Perlak adalah sat-satunya daerah Islam di Indonesa waktu itu.

Dari berbagai argumen teori Gujarat di atas, analisis para ahli kebanyakan bersifat India-Hindisentris, sehingga seluruh perubahan sosial-politik di India mempengaruhi langsung sosial-politik di Indoensia. Teori ini tentunya memiliki kelemahan dan menuai kritik dari para ahli yang lain.

SQ Fatimi, misalnya, menyatakan bahwa argumen yang mengaitkan seluruh batu nisan di Pasai --termasuk batu nisan Malik Al-Saleh dengan batu nisan di Gujarat, diragukan. Menurut penelitiannya, batu nisan Malik Al-Saleh berbeda dengan batu nisan yang terdapat di Gujarat. Batu nisan tersebut justeru mirip dengan batu nisan yang terdapat di Bengal. Karena itu seluruh batu nisan itu pasti didatangkan dari sana. Dengan demikian Islam masuk ke Indonesia dari Bengal. Namun pendapat ini dipersoalkan berkenaan dengan perbedaan mazhab. Muslim Indonesia bermazhab Syafi’i, sementara muslim di Bengal bermazhab Hanafi. (Azra, 25).

Pengkritik teori Gujarat lain adalah Morisson yang menyatakan bahwa meski batu-batu nisan yang ada di Nusantara diimpor dari Gujarat, bukan berarti Islam berasal dari sana. Morisson mematahkan teori ini dengan data sejarah. Raja Samudera Pasai yang melakukan Islamisasi di Pasai wafat pada tahun 1297. Padahal, Gujarat saat itu masih merupakan kerajaan Hindu, dan baru pada tahun 1298 ditaklukkan oleh penguasa muslim. Menurut Morrison, Islam masuk ke Indonesia pada akhir abad ke-13 dari Corromandel (India Timur). (Azra, 26).

Pandangan ini nampaknya sejalan dengan T.W. Arnold, yang berargumen bahwa Islam Indonesia berasal dari Coromandel dan Malabar. Hal ini disokong oleh kenyataan bahwa kedua wilayah itu mempunyai kesamaan mazhab, yakni Syafi’i. Tetapi perlu juga dicatat, menurut Arnold, Coromadel dan Malabar, bukan satu-satunya asal Islam dibawa ke Nusantara, tetapi juga Arabia pada awal abad VII M. (Azra Ibid., 26-27.)

Teori kedua tentang masuknya Islam di Indonesia adalah teori Persia. Pembangun teori ini di Indonesia adalah Hoesin Djajadiningrat. Teori ini menitikberatkan pandangannya pada kesamaan kebudayaan masyarakat Indonesia dengan Persia. Pandangan ini agak mirip dengan pandangan Morrison yang melihat persoalan masuknya Islam di Indonesia dari sisi kesamaan mazhab, meski berbeda asal muasalnya.

Kesamaan kebudayan yang dimaksud dalam teori Persia ini adalah: Pertama, peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringatan Syi’ah terhadap syahidnya Husain. Peringtan ini ditandai dengan pembuatan bubur Syura. Di Minangkabau bulan Muharam dinamakan bulan Hasan-Husein. Di Bengkulu ada tradisi Tabut, dengan mengarak keranda Husein untuk dilemparkan ke sungai atau perairan lainnya. Kedua, ada kesaman ajaran wahdatul wujud Hamzah Fansuri dan Syekh Siti Jenar dengan ajaran sufi Persia, Al-Hallaj (w.922 M). Ketiga, pengunaan istilah Persia dalam tanda bunyi harakat dalam pengajian Al-Quran, seperti jabar (Arab: fathah), huruf sin tidak bergigi (Arab: bergigi). Keempat, nisan Malik Al-Saleh dan Maulana Malik Ibrahim dipesan dari Gujarat. Argumen ini sama persis dengan argumen teori Gujarat. Kelima, pengakuan umat Islam Indonesia yang mayoritas bermazhab Syafi’i sama dengan mazhab muslim Malabar. Argumen ini sama dengan argumen Morisson. Pandangan ini agak ambigu karena di satu sisi ia menekankan kesamaan budaya Islam Indonesia dengan Persia, tetapi di sisi lain dalam hal pandangan mazhab ia terhenti sampai di Malabar, tidak sampai ke Mekkah, pusat mazhab Syafi’i. (Suryanegara, 91)
Menjawab teori Persia ini, K.H. Saifuddin Zuhri, seorang intelektual islam dan Mantan menteri Agama RI, menyatakan sukar menerima pendapat bahwa Islam datang ke Indonesia dari Persia, apalagi bila berpedoman bahwa Islam masuk sejak abad VII, yang berarti pada masa Bani Umayyah. Saat itu tampuk kekuasaan politik dipegang oleh bangsa Arab dan pusat peradaban Islam berkisar di Mekah, Madinah, Damaskus, dan Bagdad. Tidak mungkin Islam Indonesia berasal dari Persia mengingat zaman itu Islam juga baru masuk ke Persia. (Suryanegara, 91.)

Dengan demikian teori Persia ini memiliki aspek-aspek kelemahan yang akan dijawab oleh teori ketiga, yakni teori Arabia. Teori ini sebenarnya merupakan koreksi terhadap teori Gujarat dan bantahan terhadap teori Persia. Di antara para ahli yang menganut teori ini adalah T.W. Arnold, Crawfurd, Keijzer, Niemann, De Holander, Naquib Al-Attas, A. Hasymi, dan Hamka. Kedua terakhir adalah ahli dari Indonesia.

Arnold menyatakan bahwa para pedagang Arab juga menyebarkan Islam ketika mereka mendominasi perdagangan Barat-Timur sejak abad awal Hijriyah, atau pada abad VII dan VIII Masehi. Meski tidak terdapat catatan-catatan sejarah, cukup pantas mengasumsikan bahwa mereka terlibat dalam penyebaran Islam di Indonesia. Asumsi ini lebih mungkin bila mempertimbangkan fakta-fakta yang disebutkan sumber Cina bahwa pada akhir perempatan ketiga abad VII M seorang pedagang Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman Arab di pesisir Sumatera. Sebagian mereka bahkan melakukan perkawinan dengan masyarakat lokal yang kemudian membentuk komunitas muslim Arab dan lokal. Anggota komunitas itu juga melakukan kegiatan penyebaran Islam. Argumen Arnold di atas berdasarkan kitab `Ajaib al-Hind, yang mengisaratkan adanya eksistensi komunitas muslim di Kerajaan Sriwijaya pada Abad X.

Crawfurd juga menyatakan bahwa Islam Indonesia dibawa langsung dari Arabia, meski interaksi penduduk Nusantara dengan muslim di timur India juga merupakan faktor penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Sementara Keizjer memandang Islam dari Mesir berdasarkan kesamaan mazhab kedua wilayah pada saat itu, yakni Syafi’i. Sedangkan Nieman dan De Hollander memandang Islam datang dari Hadramaut, Yaman, bukan Mesir.

Pembela gigih teori Arabia lain adalah Naquib Al-Attas. Ia menolak temuan epigrafis yang menyamakan batu nisan di Indonesia dengan Gujarat sebagai titik tolak penyebaran Islam di Indonesia. Batu-batu nisan itu diimpor dari Gujarat hanya semata-mata pertimbangan jarak yang lebih dekat dibanding dengan Arabia. Menurut Al-Attas, bukti paling penting yang perlu dikaji dalam membahas kedatangan Islam di Indonesia adalah karakteristik Islam di Nusantara yang ia sebut dengan “teori umum tentang Islamisasi Nusantara” yang didasarkan kepada literatur Nusantara dan pandangan dunia Melayu. (Azra,28).

Menurut Al-Attas, sebelum abad XVII seluruh literatur Islam yang relevan tidak mencatat satupun penulis dari India. Pengarang-pengarang yang dianggap oleh Barat sebagai India ternyata berasal dari Arab atau Persia, bahkan apa yang disebut berasal dari Persia ternyata berasal dari Arab, baik dari aspek etnis maupun budaya. Nama-nama dan gelar pembawa Islam pertama ke Nusantara menunjukkan bahwa mereka orang Arab atau Arab-Persia. Diakui, bahwa setengah mereka datang melalui India, tetapi setengahnya langsung datang dari Arab, Persia, Cina, Asia Kecil, dan Magrib (Maroko). Meski demikian, yang penting bahwa faham keagamaan mereka adalah faham yang berkembang di Timur Tengah kala itu, bukan India. Sebagai contoh adalah corak huruf, nama gelaran, hari-hari mingguan, cara pelafalan Al-Quran yang keseluruhannya menyatakan ciri tegas Arab. (Attas, 1990:53-54)

Argumen ini didukung sejarawan Azyumardi Azra dengan mengemukakan historiografi lokal meski bercampur mitos dan legenda, seperti Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu, dan lain-lain yang menjelaskan interaksi langsung antara Nusantara dengan Arabia. (Azra, 30).

Penggagas Teori Arabia lain adalah Hamka. Dalam pidatonya dalam Dies Natalis Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) ke-8 di Yogyakarta pada tahun 1958 ia juga melakukan koreksi “keras” terhadap Teori Gujarat. Teorinya disebut “Teori Mekah” yang menegaskan bahwa Islam berasal langsung dari Arab, khususnya Mekah. Teori ini ditegaskannya kembali pada Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia di Medan, 17-20 Maret 1963. Hamka menolak pandangan yang menyatakan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13 dan berasal dari Gujarat. Hamka lebih mendasarkan teorinya pada peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia. Menurutnya, Gujarat hanyalah merupakan tempat singgah, dan Mekah adalah pusat Islam, sedang Mesir sebagai tempat pengambilan ajaran. (Suryanegara, 81-82).

Hamka menekankan pengamatannya kepada masalah mazhab Syafi’i yang istimewa di Mekah dan mempunyai pengaruh besar di Indonesia. Sayangnya, hal ini kurang mendapat perhatian dari para ahli Barat. Meski sama dengan Schrike yang mendasarkan pada laporan kunjungan Ibnu Bathuthah ke Sumatera, Hamka lebih tajam lagi terhadap masalah mazhab yang dimuat dalam laporan Ibnu Batutah. Selain itu Hamka, juga menolak anggapan Islam masuk ke Indonesia pada abad XIII. Islam sudah masuk ke Nusantara jauh sebelumnya, yakni sekitar Abad VII. (Ibid. 82)

Pandangan Hamka sejalan dengan Arnold, Van Leur, dan Al-Attas yang menekankan pentingya peranan Arab, meski teori Gujarat tidak mutlak menolak peranan Arab dalam penyebaran Islam di Nusantara.

Arnold sendiri telah mencatat bahwa bangsa Arab sejak abad kedua sebelum Masehi telah menguasai perdagangan di Ceylon (Srilangka). Memang tidak dijelaskan lebih lanjut tentang sampainya ke Indonesia. Tetapi, bila dihubungkan dengan kepustakaan Arab kuno yang menyebutkan Al-Hind (India) dan pulau-pulau sebelah timurnya, kemungkinan Indonesia termasuk wilayah dagang orang Arab kala itu. Berangkat dari keterangan Arnold, tidaklah mengherankan bila pada abad VII, telah terbentuk perkampungan Arab di sebelah barat Sumatera yang disebut pelancong Cina, seperti disebutkan Arnold dan Van Leur.
Hamka juga menolak teori Persia yang mendasarkan diri pada persamaan budaya Indonesia dengan Persia. Tradisi Tabut, misalnya, menurut Hamka, bukan berarti menujukkan bahwa Islam Indonesia bercorak Syi’ah dari Persia, karena Muslim di Indonesia yang bukan Syi’ah umumnya juga menghormati Hasan-Husein, meski bukan berarti Hamka menafikan pengaruh Syi’ah atau Persia di Indonesia, terutama pada bidang tasawuf. (Suryanegara, ibid., h. 92).

Dari uraian ketiga teori di atas dapat dilihat segi-segi persamaan dan perbedaan dari masing-masing teori. Teori Gujarat dan Persia memiliki persamaan pandangan mengenai masuknya Islam ke Nusantara yang berasal dari Gujarat. Perbedaanya terletak pada teori Gujarat dan mempersandingkan dengan ajaran mistik India. Teori Persia juga memandang adanya kesamaan mistik muslim Indonesia dengan ajaran mistik Persia. Gujarat dipandang sebagai daerah yang dipengaruhi Persia, dan menjadi tempat singgah ajaran Syi’ah ke Indonesia.

Dalam hal memandang Gujarat sebagai tempat singgah (transit) bukan pusat, sependapat dengan Teori Arabia/Mekah. Tetapi teori Mekah memandang Gujarat sebagai tempat singgah perjalanan perdagagan laut antara Indonesia dan Timur Tengah, sedangkan ajaran Islam diambilnya dari Mekah atau dari Mesir.

Teori Gujarat tidak melihat peranan bangsa Arab dalam perdagangan ataupun dalam penyebaran agama islam ke Indonesia. Teori ini lebih melihat peranan pedagang India yang beragama Islam dari pada bangsa Arab yang membawa ajaran Islam. Oleh karena itu berdasarkan skripsi tertua dan laporan Marcopolo, ditetapkan daerah Islam pertama di Nusantara adalah Samudera Pasai, dan waktunya pada abad ke-13.

Dalam hal ini teori Persia mempunyai kesamaan pendapat bahwa agama Islam masuk ke Nusantara pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam pada abad 13 di Sumatera dengan pusatnya di Samudera Pasai.

Kebalikannya adalah teori Arabia/Mekah yang tidak dapat menerima abad 13 sebagai awal masuknya islam ke Indonesia yang didasarkan pada berdirinya kerajaan Islam. Sedangkan masuknya Islam ke Nusantara terjadi pada abad ke-7. Dasar argumennya bertolak dari besarnya pengaruh mazhab Syafi’i di Indonesia.

Sekalipun teori Persia juga membicarakan masalah pengaruh mazhab Syafi’i di Indoensia, tetapi hal itu juga dijadikan argumen besarnya pengaruh India atas Indonesia. Pandangan teori Persia dengan melihat mazhab Syafi’i di Indonesia sebagai pengaruh yang berkembang luas di Malabar. Dari Malabar inilah mazhab Syafi’i dibawa oleh pedagang India ke Indonesia.

Mempertimbangkan diskusi di atas mungkin dapat diambil kesimpulan bahwa Islam sudah diperkenalkan dan ada di Indonesia sejak abad ke-7 Masehi atau abad pertama Hijriah, namun perkembangan yang lebih massif baru terlihat pada abad 12 dan 16. Adapun pembawa dan penyebar yang paling dominan adalah bangsa Arab, baru kemudian orang Persia dan India. Demikian pula asalnya, adalah Arabia yang kemudian dibumbui warna Persia dan India. Penyebaran itu pertama kali dilakukan di pesisir utara Sumatera (Aceh), karena posisi selat Malaka merupakan jalur perdagangan penting dunia, dan kemudian menyebar ke daerah yang lebih timur dan utara, seperti Jawa (1450), Kalimantan (1580), Maluku (1490), Sulawesi (1600), Sulu (1450) dan Filipina Selatan (1480). (***)

Sejarah Masuknya Islam Di Indonesia

Wacana tentang masuknya Islam ke Indonesia, masih menyisakan perdebatan panjang di kalangan para ahli. Setidaknya ada tiga masalah pokok yang menjadi perbedaan. Tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya. Berbagai teori berusaha menjawab tiga masalah pokok ini dan nampaknya belum tuntas karena kurangnya data pendukung dari masing-masing teori. Pula, ada kecenderungan dari teori-teori yang menekankan salah satu aspek dan mengabaikan aspek-aspek yang lain.


Paling tidak, ada tiga teori yang dikembangkan para ahli mengenai masuknya Islam di Indonesia: “Teori Gujarat”, “Teori Persia”, dan “Teori Arabia”. Teori Gujarat dianut oleh kebanyakan ahli dari Belanda. Penganut teori ini memegang keyakinan bahwa asal muasal Islam di Indonesia dari Anak Benua India, bukan dari Persia atau Arabia.

Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah Pijnappel dari Universitas Leiden, Belanda. Menurut Pijnappel, aorang-orang Arab yang bermazhab Syafi’i yang bermigrasi dan menetap di wilayah India kemudian membawa Islam ke Indonesia. (Azra, 1998: 24)

Teori ini kemudian dikembangkan oleh Snouck Hurgronje. Teori ini lebih menitikberatkan pandangannya ke Gujarat sebagai asal berdasarkan: Pertama, kurangya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran agama Islam ke Indonesia. Kedua, hubungan dagang Indonesia-India telah lama terjalin lama. Ketiga, inskripsi tertua tentang Islam yang terdapat di Sumatera memberikan gambaran hubungan antara Sumatera dengan Gujarat. (Suryanegara, 1998: 75)

Pandangan Snouck Hurgronje yang demikian ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap para sejarawan Barat dan berpengaruh juga terhadap sejarawan Indonesia. Sampai hari ini kita masih mendapati buku terbaru yang menyebut Gujarat sebagai asal masuknya agama Islam ke Nusantara. Sejalan dengan pendapat di atas ini, Moquette, seorang sarjana Belanda. Ia mendasarkan kesimpulannya setelah mengamati bentuk batu nisan di Pasai, kawasan utara Sumatera yang bertanggal 17 Dzulhijjah 1831 H/27 September 1428. Batu nisan yang mirip ditemukan di makam Maulana Malik Ibrahim (w.1822/1419) di Gresik, Jawa Timur.
Berdasarkan contoh-contoh batu nisan ini ia berkesimpulan, bahwa batu nisan di Cambay, Gujarat dihasilkan bukan hanya untuk pasar lokal tetapi juga untuk diekspor ke kawasan lain, termasuk Sumatera dan Jawa. Selanjutnya, dengan mengimpor batu nisan dari Gujarat, orang-orang Indonesia juga mengambil Islam dari sana. (Azra,1998:24-25)

Sarjana Belanda lainnya, W.F. Stuterheim menyatakan masuknya agama Islam ke Nusantra pada abad ke-13 Masehi. Pendapat ini didasarkan pada bukti batu nisan sultan pertama dari Kerajaan Samudera Pasai, yakni Malik Al-Saleh pada tahun 1297. Selanjutnya tentang asal negara yang mempengaruhi masuknya Islam ke Indonesia adalah Gujarat dengan alasan bahwa Islam disebarkan melalui jalur perdagangan Indonesia-Cambay (India)-Timur Tengah–Eropa. Di samping itu, Stuterheim memperkuat alasannya bahwa relief batu nisan Sultan Malik Al-Saleh bersifat Hinduistis yang mempunyai kesamaan dengan batu nisan di Gujarat. (Suryanegara,1998: 76).

Dengan demikian, dari pandangan para ahli di atas, baik Pijnapel, Hurgronje, Moquette, maupun Stutterheim, dapat disimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia dari Gujarat India pada abad XIII-XIV Masehi melalui jalur perdagangan.
Masih dalam konteks Teori Gujarat, J.C. Van Leur menyatakan bahwa pada tahun 674 M di pantai barat Sumatera telah terdapat perkampungan Islam. Dengan pertimbangan bahwa bangsa Arab telah mendirikan perkampungan di Kanton pada abad IV M. Perkampungan ini mulai dibicarakan lagi pada tahun 618 dan 626. Pada perkembangan selanjutnya, perkampungan ini ternyata mempraktekkan ajaran Islam seperti yang terdapat di sepanjang jalan perdagangan Asia Tenggara. (Suryanegara, ibid.)
Berdasarkan keterangan Van Leur, disimpulkan bahwa masuknya Islam ke Nusantara tidaklah terjadi pada abad ke-13, melainkan pada Abad ke-7. Sedangkan Abad ke-13 adalah masa perkembangan Islam. Perluasan lebih lanjut terjadi pada abad ke-16, sebagai akibat perubahan politik di India.

Perkembangan Islam pada abad XIII sebagai akibat terjadinya jalur perdagangan, yang tadinya melalui Selat Sunda, berubah melewati selat Malaka. Perubahan mempengaruhi timbulnya pusat perdagangan di selat Malaka. Perluasan lebih lanjut ditunjang oleh perubahan politik di India, yakni runtuhnya kekuasaan Brahmana yang digantikan kekuatan Mongol (1526 M) dan diikuti jatuhnya kerajaan Vijayanagar (1556). Perubahan politik inilah yang mempengaruhi perkembangan Islam di Indonesia. (Suryanegara, 1998: 77).

Pandangan Van Leur mempunyai kesamaan dengan pendapat TW Arnold tentang waktu masuknya Islam ke Indonesia, yaitu pada abad VII. Tetapi, Van Leur tidak dapat melepaskan pandangan bahwa Islam masuk Indonesia dari India, seperti pandangan para ahli sebelumnya. Di samping itu, mereka mengakui adanya bangsa Arab yang membawa Islam. (Suryanegara, ibid.).

Leur juga menginformasikan bahwa motivasi para bupati masuk Islam adalah untuk mempertahankan kekuasaanya. Dengan demikian, informasi ini memberikan gambaran bahwa sebelumnya Islam telah menjadi agama rakyat yang kemudian disusul oleh para penguasa. Dengan demikian, kajian tentang awal masuknya Islam ke Indonesia mestinya tidak didasarkan kepada saat timbulnya kekuasaan politik, tapi perlu juga memperhatikan perkembangan Islam di tengah masyarakat. (Suryanegara, ibid.)
Tetapi, pada umumnya para penulis memusatkan perhatiannya pada awal timbulnya kekusaan politik. Bernard Vlekke misalnya. Berdasarkan laporan Marcopolo yang pernah singgah di Sumatera pada tahun 1929, digambarkan bahwa situasi di ujung utara Sumatera, daerah Perlak (Aceh) penduduknya telah memeluk agama Islam. Vlekke menandaskan bahwa Perlak adalah sat-satunya daerah Islam di Indonesa waktu itu.

Dari berbagai argumen teori Gujarat di atas, analisis para ahli kebanyakan bersifat India-Hindisentris, sehingga seluruh perubahan sosial-politik di India mempengaruhi langsung sosial-politik di Indoensia. Teori ini tentunya memiliki kelemahan dan menuai kritik dari para ahli yang lain.

SQ Fatimi, misalnya, menyatakan bahwa argumen yang mengaitkan seluruh batu nisan di Pasai --termasuk batu nisan Malik Al-Saleh dengan batu nisan di Gujarat, diragukan. Menurut penelitiannya, batu nisan Malik Al-Saleh berbeda dengan batu nisan yang terdapat di Gujarat. Batu nisan tersebut justeru mirip dengan batu nisan yang terdapat di Bengal. Karena itu seluruh batu nisan itu pasti didatangkan dari sana. Dengan demikian Islam masuk ke Indonesia dari Bengal. Namun pendapat ini dipersoalkan berkenaan dengan perbedaan mazhab. Muslim Indonesia bermazhab Syafi’i, sementara muslim di Bengal bermazhab Hanafi. (Azra, 25).

Pengkritik teori Gujarat lain adalah Morisson yang menyatakan bahwa meski batu-batu nisan yang ada di Nusantara diimpor dari Gujarat, bukan berarti Islam berasal dari sana. Morisson mematahkan teori ini dengan data sejarah. Raja Samudera Pasai yang melakukan Islamisasi di Pasai wafat pada tahun 1297. Padahal, Gujarat saat itu masih merupakan kerajaan Hindu, dan baru pada tahun 1298 ditaklukkan oleh penguasa muslim. Menurut Morrison, Islam masuk ke Indonesia pada akhir abad ke-13 dari Corromandel (India Timur). (Azra, 26).

Pandangan ini nampaknya sejalan dengan T.W. Arnold, yang berargumen bahwa Islam Indonesia berasal dari Coromandel dan Malabar. Hal ini disokong oleh kenyataan bahwa kedua wilayah itu mempunyai kesamaan mazhab, yakni Syafi’i. Tetapi perlu juga dicatat, menurut Arnold, Coromadel dan Malabar, bukan satu-satunya asal Islam dibawa ke Nusantara, tetapi juga Arabia pada awal abad VII M. (Azra Ibid., 26-27.)

Teori kedua tentang masuknya Islam di Indonesia adalah teori Persia. Pembangun teori ini di Indonesia adalah Hoesin Djajadiningrat. Teori ini menitikberatkan pandangannya pada kesamaan kebudayaan masyarakat Indonesia dengan Persia. Pandangan ini agak mirip dengan pandangan Morrison yang melihat persoalan masuknya Islam di Indonesia dari sisi kesamaan mazhab, meski berbeda asal muasalnya.

Kesamaan kebudayan yang dimaksud dalam teori Persia ini adalah: Pertama, peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringatan Syi’ah terhadap syahidnya Husain. Peringtan ini ditandai dengan pembuatan bubur Syura. Di Minangkabau bulan Muharam dinamakan bulan Hasan-Husein. Di Bengkulu ada tradisi Tabut, dengan mengarak keranda Husein untuk dilemparkan ke sungai atau perairan lainnya. Kedua, ada kesaman ajaran wahdatul wujud Hamzah Fansuri dan Syekh Siti Jenar dengan ajaran sufi Persia, Al-Hallaj (w.922 M). Ketiga, pengunaan istilah Persia dalam tanda bunyi harakat dalam pengajian Al-Quran, seperti jabar (Arab: fathah), huruf sin tidak bergigi (Arab: bergigi). Keempat, nisan Malik Al-Saleh dan Maulana Malik Ibrahim dipesan dari Gujarat. Argumen ini sama persis dengan argumen teori Gujarat. Kelima, pengakuan umat Islam Indonesia yang mayoritas bermazhab Syafi’i sama dengan mazhab muslim Malabar. Argumen ini sama dengan argumen Morisson. Pandangan ini agak ambigu karena di satu sisi ia menekankan kesamaan budaya Islam Indonesia dengan Persia, tetapi di sisi lain dalam hal pandangan mazhab ia terhenti sampai di Malabar, tidak sampai ke Mekkah, pusat mazhab Syafi’i. (Suryanegara, 91)
Menjawab teori Persia ini, K.H. Saifuddin Zuhri, seorang intelektual islam dan Mantan menteri Agama RI, menyatakan sukar menerima pendapat bahwa Islam datang ke Indonesia dari Persia, apalagi bila berpedoman bahwa Islam masuk sejak abad VII, yang berarti pada masa Bani Umayyah. Saat itu tampuk kekuasaan politik dipegang oleh bangsa Arab dan pusat peradaban Islam berkisar di Mekah, Madinah, Damaskus, dan Bagdad. Tidak mungkin Islam Indonesia berasal dari Persia mengingat zaman itu Islam juga baru masuk ke Persia. (Suryanegara, 91.)

Dengan demikian teori Persia ini memiliki aspek-aspek kelemahan yang akan dijawab oleh teori ketiga, yakni teori Arabia. Teori ini sebenarnya merupakan koreksi terhadap teori Gujarat dan bantahan terhadap teori Persia. Di antara para ahli yang menganut teori ini adalah T.W. Arnold, Crawfurd, Keijzer, Niemann, De Holander, Naquib Al-Attas, A. Hasymi, dan Hamka. Kedua terakhir adalah ahli dari Indonesia.

Arnold menyatakan bahwa para pedagang Arab juga menyebarkan Islam ketika mereka mendominasi perdagangan Barat-Timur sejak abad awal Hijriyah, atau pada abad VII dan VIII Masehi. Meski tidak terdapat catatan-catatan sejarah, cukup pantas mengasumsikan bahwa mereka terlibat dalam penyebaran Islam di Indonesia. Asumsi ini lebih mungkin bila mempertimbangkan fakta-fakta yang disebutkan sumber Cina bahwa pada akhir perempatan ketiga abad VII M seorang pedagang Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman Arab di pesisir Sumatera. Sebagian mereka bahkan melakukan perkawinan dengan masyarakat lokal yang kemudian membentuk komunitas muslim Arab dan lokal. Anggota komunitas itu juga melakukan kegiatan penyebaran Islam. Argumen Arnold di atas berdasarkan kitab `Ajaib al-Hind, yang mengisaratkan adanya eksistensi komunitas muslim di Kerajaan Sriwijaya pada Abad X.

Crawfurd juga menyatakan bahwa Islam Indonesia dibawa langsung dari Arabia, meski interaksi penduduk Nusantara dengan muslim di timur India juga merupakan faktor penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Sementara Keizjer memandang Islam dari Mesir berdasarkan kesamaan mazhab kedua wilayah pada saat itu, yakni Syafi’i. Sedangkan Nieman dan De Hollander memandang Islam datang dari Hadramaut, Yaman, bukan Mesir.

Pembela gigih teori Arabia lain adalah Naquib Al-Attas. Ia menolak temuan epigrafis yang menyamakan batu nisan di Indonesia dengan Gujarat sebagai titik tolak penyebaran Islam di Indonesia. Batu-batu nisan itu diimpor dari Gujarat hanya semata-mata pertimbangan jarak yang lebih dekat dibanding dengan Arabia. Menurut Al-Attas, bukti paling penting yang perlu dikaji dalam membahas kedatangan Islam di Indonesia adalah karakteristik Islam di Nusantara yang ia sebut dengan “teori umum tentang Islamisasi Nusantara” yang didasarkan kepada literatur Nusantara dan pandangan dunia Melayu. (Azra,28).

Menurut Al-Attas, sebelum abad XVII seluruh literatur Islam yang relevan tidak mencatat satupun penulis dari India. Pengarang-pengarang yang dianggap oleh Barat sebagai India ternyata berasal dari Arab atau Persia, bahkan apa yang disebut berasal dari Persia ternyata berasal dari Arab, baik dari aspek etnis maupun budaya. Nama-nama dan gelar pembawa Islam pertama ke Nusantara menunjukkan bahwa mereka orang Arab atau Arab-Persia. Diakui, bahwa setengah mereka datang melalui India, tetapi setengahnya langsung datang dari Arab, Persia, Cina, Asia Kecil, dan Magrib (Maroko). Meski demikian, yang penting bahwa faham keagamaan mereka adalah faham yang berkembang di Timur Tengah kala itu, bukan India. Sebagai contoh adalah corak huruf, nama gelaran, hari-hari mingguan, cara pelafalan Al-Quran yang keseluruhannya menyatakan ciri tegas Arab. (Attas, 1990:53-54)

Argumen ini didukung sejarawan Azyumardi Azra dengan mengemukakan historiografi lokal meski bercampur mitos dan legenda, seperti Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu, dan lain-lain yang menjelaskan interaksi langsung antara Nusantara dengan Arabia. (Azra, 30).

Penggagas Teori Arabia lain adalah Hamka. Dalam pidatonya dalam Dies Natalis Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) ke-8 di Yogyakarta pada tahun 1958 ia juga melakukan koreksi “keras” terhadap Teori Gujarat. Teorinya disebut “Teori Mekah” yang menegaskan bahwa Islam berasal langsung dari Arab, khususnya Mekah. Teori ini ditegaskannya kembali pada Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia di Medan, 17-20 Maret 1963. Hamka menolak pandangan yang menyatakan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13 dan berasal dari Gujarat. Hamka lebih mendasarkan teorinya pada peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia. Menurutnya, Gujarat hanyalah merupakan tempat singgah, dan Mekah adalah pusat Islam, sedang Mesir sebagai tempat pengambilan ajaran. (Suryanegara, 81-82).

Hamka menekankan pengamatannya kepada masalah mazhab Syafi’i yang istimewa di Mekah dan mempunyai pengaruh besar di Indonesia. Sayangnya, hal ini kurang mendapat perhatian dari para ahli Barat. Meski sama dengan Schrike yang mendasarkan pada laporan kunjungan Ibnu Bathuthah ke Sumatera, Hamka lebih tajam lagi terhadap masalah mazhab yang dimuat dalam laporan Ibnu Batutah. Selain itu Hamka, juga menolak anggapan Islam masuk ke Indonesia pada abad XIII. Islam sudah masuk ke Nusantara jauh sebelumnya, yakni sekitar Abad VII. (Ibid. 82)

Pandangan Hamka sejalan dengan Arnold, Van Leur, dan Al-Attas yang menekankan pentingya peranan Arab, meski teori Gujarat tidak mutlak menolak peranan Arab dalam penyebaran Islam di Nusantara.

Arnold sendiri telah mencatat bahwa bangsa Arab sejak abad kedua sebelum Masehi telah menguasai perdagangan di Ceylon (Srilangka). Memang tidak dijelaskan lebih lanjut tentang sampainya ke Indonesia. Tetapi, bila dihubungkan dengan kepustakaan Arab kuno yang menyebutkan Al-Hind (India) dan pulau-pulau sebelah timurnya, kemungkinan Indonesia termasuk wilayah dagang orang Arab kala itu. Berangkat dari keterangan Arnold, tidaklah mengherankan bila pada abad VII, telah terbentuk perkampungan Arab di sebelah barat Sumatera yang disebut pelancong Cina, seperti disebutkan Arnold dan Van Leur.
Hamka juga menolak teori Persia yang mendasarkan diri pada persamaan budaya Indonesia dengan Persia. Tradisi Tabut, misalnya, menurut Hamka, bukan berarti menujukkan bahwa Islam Indonesia bercorak Syi’ah dari Persia, karena Muslim di Indonesia yang bukan Syi’ah umumnya juga menghormati Hasan-Husein, meski bukan berarti Hamka menafikan pengaruh Syi’ah atau Persia di Indonesia, terutama pada bidang tasawuf. (Suryanegara, ibid., h. 92).

Dari uraian ketiga teori di atas dapat dilihat segi-segi persamaan dan perbedaan dari masing-masing teori. Teori Gujarat dan Persia memiliki persamaan pandangan mengenai masuknya Islam ke Nusantara yang berasal dari Gujarat. Perbedaanya terletak pada teori Gujarat dan mempersandingkan dengan ajaran mistik India. Teori Persia juga memandang adanya kesamaan mistik muslim Indonesia dengan ajaran mistik Persia. Gujarat dipandang sebagai daerah yang dipengaruhi Persia, dan menjadi tempat singgah ajaran Syi’ah ke Indonesia.

Dalam hal memandang Gujarat sebagai tempat singgah (transit) bukan pusat, sependapat dengan Teori Arabia/Mekah. Tetapi teori Mekah memandang Gujarat sebagai tempat singgah perjalanan perdagagan laut antara Indonesia dan Timur Tengah, sedangkan ajaran Islam diambilnya dari Mekah atau dari Mesir.

Teori Gujarat tidak melihat peranan bangsa Arab dalam perdagangan ataupun dalam penyebaran agama islam ke Indonesia. Teori ini lebih melihat peranan pedagang India yang beragama Islam dari pada bangsa Arab yang membawa ajaran Islam. Oleh karena itu berdasarkan skripsi tertua dan laporan Marcopolo, ditetapkan daerah Islam pertama di Nusantara adalah Samudera Pasai, dan waktunya pada abad ke-13.

Dalam hal ini teori Persia mempunyai kesamaan pendapat bahwa agama Islam masuk ke Nusantara pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam pada abad 13 di Sumatera dengan pusatnya di Samudera Pasai.

Kebalikannya adalah teori Arabia/Mekah yang tidak dapat menerima abad 13 sebagai awal masuknya islam ke Indonesia yang didasarkan pada berdirinya kerajaan Islam. Sedangkan masuknya Islam ke Nusantara terjadi pada abad ke-7. Dasar argumennya bertolak dari besarnya pengaruh mazhab Syafi’i di Indonesia.

Sekalipun teori Persia juga membicarakan masalah pengaruh mazhab Syafi’i di Indoensia, tetapi hal itu juga dijadikan argumen besarnya pengaruh India atas Indonesia. Pandangan teori Persia dengan melihat mazhab Syafi’i di Indonesia sebagai pengaruh yang berkembang luas di Malabar. Dari Malabar inilah mazhab Syafi’i dibawa oleh pedagang India ke Indonesia.

Mempertimbangkan diskusi di atas mungkin dapat diambil kesimpulan bahwa Islam sudah diperkenalkan dan ada di Indonesia sejak abad ke-7 Masehi atau abad pertama Hijriah, namun perkembangan yang lebih massif baru terlihat pada abad 12 dan 16. Adapun pembawa dan penyebar yang paling dominan adalah bangsa Arab, baru kemudian orang Persia dan India. Demikian pula asalnya, adalah Arabia yang kemudian dibumbui warna Persia dan India. Penyebaran itu pertama kali dilakukan di pesisir utara Sumatera (Aceh), karena posisi selat Malaka merupakan jalur perdagangan penting dunia, dan kemudian menyebar ke daerah yang lebih timur dan utara, seperti Jawa (1450), Kalimantan (1580), Maluku (1490), Sulawesi (1600), Sulu (1450) dan Filipina Selatan (1480). (***)

Thursday 2 July 2015

Sejarah Jakarta bermula dari sebuah bandar kecil di muara Sungai Ciliwung sekitar 500 tahun silam. Selama berabad-abad kemudian kota bandar ini berkembang menjadi pusat perdagangan internasio-nal yang ramai. 

Pengetahuan awal mengenai Jakarta terkumpul sedikit melalui berbagai prasasti yang ditemukan di kawasan bandar tersebut. Keterangan mengenai kota Jakarta sampai dengan awal kedatangan para penjelajah Eropa dapat dikatakan sangat sedikit.



Laporan para penulis Eropa abad ke-16 menyebutkan sebuah kota bernama Kalapa, yang tampaknya menjadi bandar utama bagi sebuah kerajaan Hindu bernama Sunda, beribukota Pajajaran, terletak sekitar 40 kilometer di pedalaman, dekat dengan kota Bogor sekarang. Bangsa Portugis merupakan rombongan besar orang-orang Eropa pertama yang datang ke bandar Kalapa. Kota ini kemudian diserang oleh seorang muda usia, bernama Fatahillah, dari sebuah kerajaan yang berdekatan dengan Kalapa.

Fatahillah mengubah nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta pada 22 Juni 1527. Tanggal inilah yang kini diperingati sebagai hari lahir kota Jakarta. Orang-orang Belanda datang pada akhir abad ke-16 dan kemudian menguasai Jayakarta.

Nama Jayakarta diganti menjadi Batavia. Keadaan alam Batavia yang berawa-rawa mirip dengan negeri Belanda, tanah air mereka. Mereka pun membangun kanal-kanal untuk melindungi Batavia dari ancaman banjir. Kegiatan pemerintahan kota dipusatkan di sekitar lapangan yang terletak sekitar 500 meter dari bandar.

Mereka membangun balai kota yang anggun, yang merupakan kedudukan pusat pemerintahan kota Batavia. Lama-kelamaan kota Batavia berkembang ke arah selatan. Pertumbuhan yang pesat mengakibatkan keadaan lilngkungan cepat rusak, sehingga memaksa penguasa Belanda memindahkan pusat kegiatan pemerintahan ke kawasan yang lebih tinggi letaknya. Wilayah ini dinamakan Weltevreden.

MENGAMATI kota Jakarta bagaikan membaca catatan panjang yang merekam berbagai kejadian masa lalu. Berbagai bangunan dan lingkungan di Jakarta menyimpan jejak-jejak perjalanan masyarakatnya, bagaimana mereka bersikap menghadapi tantangan zamannya, memenuhi kebutuhan hidupnya dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Ia menyimpan suka-duka dan pahit-manisnya perkembangan, di mana kita dapat menyerap pelajaran yang berharga.

Jakarta, Ibukota Republik Indonesia, memiliki banyak rekaman sejarah. Antara lain dalam bentuk bangunan maupun lingkungan. Di dalamnya tercermin upaya masyarakat masa lalu dalam membangun kotanya yang tak luput dari berbagai masalah dari zaman ke zaman.

“Jika kita memandang kota Jakarta sekarang, mungkin sulit terbayang bahwa ribuan tahun yang lalu kawasan ini masih baru terbentuk dari endapan lumpur sungai-sungai yang mengalir ke Jakarta. Misalnya Kali Ciliwung, Kali Angke, Kali Marunda, Kali Cisadane, Kali Besar, Kali Bekasi dan Kali Citarum. Usia dataran Jakarta kini diperkirakan 500 tahun berdasarkan geomorfologi, ilmu lapisan tanah.

Endapan ini membentuk dataran dengan alur-alur sungai yang menyerupai kipas. Dataran ini setelah mantap lama kelamaan dihuni orang dan terbentuklah beberapa kelompok pemukiman, di mana salah satunya kemudian berkembang menjadi pelabuhan besar, ” kata Muhammad Isa Ansyari SS, Sejarawan Terkemuka di Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Pemda DKI Jakarta.

Ia menuturkan, kota Jakarta merupakan kota yang berkembang dengan cepat sejak mendapat peran sebagai Ibukota Rl. Perkembangan itu disebabkan oleh faktor-faktor sosial, ekonomi dan budaya yang saling menjalin satu sama lain.

Bermula dari sebuah lingkungan pemukiman kecil dengan kegiatan hidup terbatas, dan kemudian berkembang menjadi lingkungan pemukiman megapolitan dengan berbagai kegiatan yang amatkompleks. Dalam paparan sejarah pertumbuhannya, di mana pemerintah kotanya silih berganti dan kondisi masyarakatnya sangat majemuk, baik dari suku bangsa, ras dan agama berikut berbagai aspek kehidupannya, warga kotanya tetap membangun tempat bermukim dan berkehidupan mereka sesuai dengan kemampuan dana, daya dan teknologi yang mereka miliki.

Sejarah Jakarta

Peta Batavia tahun 1897, Muhammad Isa Ansyari SS mengungkapkan sejarah kota Jakarta dimulai dengan terbentuknya sebuah pemukiman di muara Ciliwung. Menurut berita Kerajaan Portugal pada awal abad ke-15, pemukiman tersebut bernama “Kalapa” dan merupakan sebuah Bandar penting di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran, yang pusatnya pada waktu itu berada di Kota Bogor.

“Di Kerajaan Pajajaran, Bogor, itu kini masih terdapat prasasti peninggalan abad ke-16. Nama prasasti itu “Sato Tulis”, peninggalan Rahyang Niskala Watu Kencana, Namun oleh orang Eropa Bandar tersebut lebih dikenal dengan nama Sunda Kalapa, karena berada di bawah kekuasaan Sunda,” kata Muhammad Isa Ansyari SS.

Dalam sejarah, ujar Sejarawan Terkemuka Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Pemda OKI Jakarta itu, Bandar Malaka ditaklukkan Kerajaan Portugal pada 1511. Tujuan Portugal ketika itu adalah mencari jalur laut untuk mencapai kepulauan Maluku, sumber rempah-rempah. Maka pada 1522 mendaratlah kapal utusan dari Malaka di bawah pimpinan Francesco De Sa.

Menurut laporan Francesco De Sa terjadi perundingan dengan pemuka Bandar Kalapa yang berada di bawah kekuasaan Raja Sunda yang beragama Hindu. Sementara itu di Jawa Tengan dengan surutnya Kerajaan Majapahit berkembanglah Kerajaan Islam di Demak. Kerajaan Islam itu kemudian menyerang Kerajaan Sunda di Jawa Barat meliputi Cirebon, Banten, Kalapa dan lain-lain. Mengingat kurangnya sumber-sumber asli Jawa Tengah tnengenai peristiwa itu, maka kita terpaksa berpaling kepada berita Kerajaan Portugal yang pada akhirnya tidak saja berlabuh di Maluku tetapi juga Kerajaan Portugal ini merapatdi Timor Timur, menyatakan bahwa pada 1526-1527 sebuah armada Portugal telah mengunjungi Sunda Kalapa untuk memenuni perfanjian tahun 1522. “Ternyata mereka belum mengetahui bahwa telah terjadi perubahan kekuasaan dari Kerajaan Pajajaran ke Kerajaan Banten, yaltu orang-orang dari Jawa Tengah yang beragama Islam .Ivlenurut berita yang mereka dapat, nama Pangtima yang diberikan adalah Falatehan, sebutan mereka untuk nama Fatahillah,” ujar Muhammad Isa Ansyari SS.

Masa Prasejarah
Di beberapa tempat di Jakarta seperti Pasar Minggu, Pasar Rebo, Jatinegara, Karet, Kebayoran, Kebon Sirih, Kebon Nanas, Cawang, Kebon Pala, Rawa Belong, Rawa Lefe, Rawa Bangke, ditemukan benda-benda pra sejarah seperti kapak, beliung, gurdi, dan pahat dari batu. Alat-alat tersebut berasal dari zaman batu atau zaman neolitikum antara tahun 1000 SM. Jadi, pada masa itu sudah ada kehidupan manusia di Jakarta.

“Dan seperti daerah latnnya, di Jakarta juga ditemukan prasasti. Prasasti Tugu ditemukan di Cilineing. Prasasti itu sarat informasi tentang Kerajaan Tarumanegara dengan Raja Purnawarman. Menurut prasasti itu, Jakarta merupakan wilayah Kerajaan Tarumanegara, kerajaan tertua di Puiau Jawa, di samping Bogor, Banten, Bekasi sampai Citarum di sebelah timur dan Giaruten,” kata Muhammad isa Ansyari SS.

Kronologis Peristiwa Penting
Pada 686 Masehi. Kerajaan Tarumanegara hancur akibat serangan balatentara Kerajaan Sriwijaya. Abad ke-14, Jakarta masuk ke wilayah Kerajaan Pakuan Pajajaran yang sering disebtit Kerajaan Pajajaran, atau Kerajaan Sunda. Kerajaan Pajajaran memiiiki enam petabuhan, diantaranya pelabuhan Sunda Kalapa. Kota pelabuhan ini terletak di Teluk Jakarta – di muara sungai Citiwung – yang merupakan pusat perdagangan paling penting seiak abad ke-12 hingga ke-16.

Senin, 21 Agustus 1522. Begitu pentingnya, Sunda Kalapa tak luput dari incaran orang-orana Portugis yang sejak tahun 1511 sudah bercokol di daratan Malaka. Keinginan mereka mendapatkan sambutan baik dari Raja Pajajaran. Selain berkepentingan soal perdagangan, Raja Pajajaran juga bermaksud meminta bantuan orang-orang Portugis dalam menghadapi orang-orang Islam, yang sudah banyak pengikutnya di Banten dan Cirebon. Demak, kala itu, sudah menjadi pusat kekuatan dan penyebaran agama Islam.

Perjanjian kerjasama pun ditandatangani antara Raja Pajajaran dan orang Portugis. Isinya orang Portugis ditzinkan mendirikan benteng di Sunda Kalapa, yang ditandai di tepi sungai Ciliwung. Rabu 22 Juni 1527. Perjanjian itu tak dapat diterima Demak, Kerajaan Islam yang saat itu sedang berada di puncak kejayaan.

“Sultan Demak mengirimkan balatentaranya, yang dipimpin sendiri oleh menantunya, Fatahillah. Pasukan Fatahillah berhasil menduduki Sunda Kalapa pada 1527. Tatkala armada Portugal datang, pasukan Fatahillah menghaneurkannya. Sia-sia armada Portugal itu hengkang Ke Malaka,” ujar Muhammad Isa Ansyari SS.

Dengan kemenangan itu Fatahillah menggantt nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta. Artinya “Kemenangan Berjaya”. Itulah peristiwa bersejarah yang ditetapkan sebagai ‘hari jadl’ Kota Jakarta. Kekuasaan Jayakarta akhirnya berada di tangan Fatahillah, dan makin meluas sampai ke Banten menjadi Kerajaan Islam.

Tahun 1595. Cornells de Houtman dan anak buahnya tiba di perairan Banten. Orang-orang Belanda itu datang mencari rempah-rempah. Persaingan di antara mereka makin ketat dibumbui permusuhan.

Rabu 20 Maret 1602 seorang token dan negarawan Kerajaan Belanda, Johati van Oldenbarneveld, mengambil suatu prakarsa mengumpulkan para pedagang Belanda dalam suatu wadah. Berdirilah serikat dagang Verenigde Oost Indische Compaqnie atau VOC. VOC merupakan wadah konglomerat zaman dulu.

Tahun 1617. Orang-orang Kerajaan Belanda diizinkan berdagang di Jayakarta. Mereka memperoleh sebidang tanah di sebelah timur sungai Ciliwung, di perkampungan Cina. Di situ mereka membangun kantor dan benteng. Kubu pertahanan Kerajaan Belanda itu tak disukai orang Jayakarta, Banten maupun Kerajaan Inggris. Mereka kemudian berperang.

Tahun 1619. Terjadi pertempuran sengit segitiga antara Kerajaan Belanda, Kerajaan Inggris dan Kerajaan Portugal di pelabuhan Sunda Kalapa. Suasana Teluk Jayakarta itu sekejab menjadi merah api dan merah darah. Di laut teluk banyak bergelimpangan mayat-mayat serdadu Kerajaan Belanda dan Kerajaan Portugal setelah kedua negara kerajaan itu habis digempur pasukan laut Kerajaan Inggris. Inggris menang dalam perang itu.

Kamis, 30 Mei 1619, JP Goen menaklukkan kembali sekaligus menguasai Jayakarta. Saat itu armada Kerajaan Inggris sudah tidak ada lagi karena telah berangkat berlayar menuju Australia, meninggalkan Jayakarta. Sedang armada (laut Kerajaan Portugal pergi menuju ke wilayah ujung timur Nusantara, tepatnya di Timor Timur.

“Jayakarta pada tahun tersebut memasuki lembaran baru. Nama Jayakarta diubah Kerajaan Belanda menjadi Batavia. Nama Batavia ini berasal dari nama Batavieren, bangsa Eropa yang menjadi nenekmoyang Kerajaan Belanda,” tukas Muhammad Isa Ansyari SS.

VOC mula-mula menjadikan Batavia sebagai pusat perdagangan dan pemerintahan. Dengan kepiawaian kompeni lewat intrik dan politik adu domba atau cfewtte et impera terhadap raja-raja di Nusantara. Seluruh wilayah Nusantara dijarahnya. Kejayaannya pun berlangsung cukup lama.

Tahun 1798. VOC jatuh dan dibubarkan. Kekuasaan, harta benda dan utangnya yartg 134,7 juta gulden diambil alih Pemerintahan Kerajaan Belanda. Rabu, 1 Januari 1800, Indonesia sejak itu diperintah langsung oleh Pemerintah Kerajaan Belanda. Suatu majelis untuk urusan jajahan Asia lalu didirikan.

Namun, awal Maret 1942, Kerajaan Jepang merebut kekuasaan dari Kerajaan Belanda pada Perang Dunia ke-2. Nama Batavia dikubur balatentara Kerajaan Jepang. Dan, nama Jakarta menggantikannya sampai sekarang.

sejarah kota Jakarta

Sejarah Jakarta bermula dari sebuah bandar kecil di muara Sungai Ciliwung sekitar 500 tahun silam. Selama berabad-abad kemudian kota bandar ini berkembang menjadi pusat perdagangan internasio-nal yang ramai. 

Pengetahuan awal mengenai Jakarta terkumpul sedikit melalui berbagai prasasti yang ditemukan di kawasan bandar tersebut. Keterangan mengenai kota Jakarta sampai dengan awal kedatangan para penjelajah Eropa dapat dikatakan sangat sedikit.



Laporan para penulis Eropa abad ke-16 menyebutkan sebuah kota bernama Kalapa, yang tampaknya menjadi bandar utama bagi sebuah kerajaan Hindu bernama Sunda, beribukota Pajajaran, terletak sekitar 40 kilometer di pedalaman, dekat dengan kota Bogor sekarang. Bangsa Portugis merupakan rombongan besar orang-orang Eropa pertama yang datang ke bandar Kalapa. Kota ini kemudian diserang oleh seorang muda usia, bernama Fatahillah, dari sebuah kerajaan yang berdekatan dengan Kalapa.

Fatahillah mengubah nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta pada 22 Juni 1527. Tanggal inilah yang kini diperingati sebagai hari lahir kota Jakarta. Orang-orang Belanda datang pada akhir abad ke-16 dan kemudian menguasai Jayakarta.

Nama Jayakarta diganti menjadi Batavia. Keadaan alam Batavia yang berawa-rawa mirip dengan negeri Belanda, tanah air mereka. Mereka pun membangun kanal-kanal untuk melindungi Batavia dari ancaman banjir. Kegiatan pemerintahan kota dipusatkan di sekitar lapangan yang terletak sekitar 500 meter dari bandar.

Mereka membangun balai kota yang anggun, yang merupakan kedudukan pusat pemerintahan kota Batavia. Lama-kelamaan kota Batavia berkembang ke arah selatan. Pertumbuhan yang pesat mengakibatkan keadaan lilngkungan cepat rusak, sehingga memaksa penguasa Belanda memindahkan pusat kegiatan pemerintahan ke kawasan yang lebih tinggi letaknya. Wilayah ini dinamakan Weltevreden.

MENGAMATI kota Jakarta bagaikan membaca catatan panjang yang merekam berbagai kejadian masa lalu. Berbagai bangunan dan lingkungan di Jakarta menyimpan jejak-jejak perjalanan masyarakatnya, bagaimana mereka bersikap menghadapi tantangan zamannya, memenuhi kebutuhan hidupnya dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Ia menyimpan suka-duka dan pahit-manisnya perkembangan, di mana kita dapat menyerap pelajaran yang berharga.

Jakarta, Ibukota Republik Indonesia, memiliki banyak rekaman sejarah. Antara lain dalam bentuk bangunan maupun lingkungan. Di dalamnya tercermin upaya masyarakat masa lalu dalam membangun kotanya yang tak luput dari berbagai masalah dari zaman ke zaman.

“Jika kita memandang kota Jakarta sekarang, mungkin sulit terbayang bahwa ribuan tahun yang lalu kawasan ini masih baru terbentuk dari endapan lumpur sungai-sungai yang mengalir ke Jakarta. Misalnya Kali Ciliwung, Kali Angke, Kali Marunda, Kali Cisadane, Kali Besar, Kali Bekasi dan Kali Citarum. Usia dataran Jakarta kini diperkirakan 500 tahun berdasarkan geomorfologi, ilmu lapisan tanah.

Endapan ini membentuk dataran dengan alur-alur sungai yang menyerupai kipas. Dataran ini setelah mantap lama kelamaan dihuni orang dan terbentuklah beberapa kelompok pemukiman, di mana salah satunya kemudian berkembang menjadi pelabuhan besar, ” kata Muhammad Isa Ansyari SS, Sejarawan Terkemuka di Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Pemda DKI Jakarta.

Ia menuturkan, kota Jakarta merupakan kota yang berkembang dengan cepat sejak mendapat peran sebagai Ibukota Rl. Perkembangan itu disebabkan oleh faktor-faktor sosial, ekonomi dan budaya yang saling menjalin satu sama lain.

Bermula dari sebuah lingkungan pemukiman kecil dengan kegiatan hidup terbatas, dan kemudian berkembang menjadi lingkungan pemukiman megapolitan dengan berbagai kegiatan yang amatkompleks. Dalam paparan sejarah pertumbuhannya, di mana pemerintah kotanya silih berganti dan kondisi masyarakatnya sangat majemuk, baik dari suku bangsa, ras dan agama berikut berbagai aspek kehidupannya, warga kotanya tetap membangun tempat bermukim dan berkehidupan mereka sesuai dengan kemampuan dana, daya dan teknologi yang mereka miliki.

Sejarah Jakarta

Peta Batavia tahun 1897, Muhammad Isa Ansyari SS mengungkapkan sejarah kota Jakarta dimulai dengan terbentuknya sebuah pemukiman di muara Ciliwung. Menurut berita Kerajaan Portugal pada awal abad ke-15, pemukiman tersebut bernama “Kalapa” dan merupakan sebuah Bandar penting di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran, yang pusatnya pada waktu itu berada di Kota Bogor.

“Di Kerajaan Pajajaran, Bogor, itu kini masih terdapat prasasti peninggalan abad ke-16. Nama prasasti itu “Sato Tulis”, peninggalan Rahyang Niskala Watu Kencana, Namun oleh orang Eropa Bandar tersebut lebih dikenal dengan nama Sunda Kalapa, karena berada di bawah kekuasaan Sunda,” kata Muhammad Isa Ansyari SS.

Dalam sejarah, ujar Sejarawan Terkemuka Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Pemda OKI Jakarta itu, Bandar Malaka ditaklukkan Kerajaan Portugal pada 1511. Tujuan Portugal ketika itu adalah mencari jalur laut untuk mencapai kepulauan Maluku, sumber rempah-rempah. Maka pada 1522 mendaratlah kapal utusan dari Malaka di bawah pimpinan Francesco De Sa.

Menurut laporan Francesco De Sa terjadi perundingan dengan pemuka Bandar Kalapa yang berada di bawah kekuasaan Raja Sunda yang beragama Hindu. Sementara itu di Jawa Tengan dengan surutnya Kerajaan Majapahit berkembanglah Kerajaan Islam di Demak. Kerajaan Islam itu kemudian menyerang Kerajaan Sunda di Jawa Barat meliputi Cirebon, Banten, Kalapa dan lain-lain. Mengingat kurangnya sumber-sumber asli Jawa Tengah tnengenai peristiwa itu, maka kita terpaksa berpaling kepada berita Kerajaan Portugal yang pada akhirnya tidak saja berlabuh di Maluku tetapi juga Kerajaan Portugal ini merapatdi Timor Timur, menyatakan bahwa pada 1526-1527 sebuah armada Portugal telah mengunjungi Sunda Kalapa untuk memenuni perfanjian tahun 1522. “Ternyata mereka belum mengetahui bahwa telah terjadi perubahan kekuasaan dari Kerajaan Pajajaran ke Kerajaan Banten, yaltu orang-orang dari Jawa Tengah yang beragama Islam .Ivlenurut berita yang mereka dapat, nama Pangtima yang diberikan adalah Falatehan, sebutan mereka untuk nama Fatahillah,” ujar Muhammad Isa Ansyari SS.

Masa Prasejarah
Di beberapa tempat di Jakarta seperti Pasar Minggu, Pasar Rebo, Jatinegara, Karet, Kebayoran, Kebon Sirih, Kebon Nanas, Cawang, Kebon Pala, Rawa Belong, Rawa Lefe, Rawa Bangke, ditemukan benda-benda pra sejarah seperti kapak, beliung, gurdi, dan pahat dari batu. Alat-alat tersebut berasal dari zaman batu atau zaman neolitikum antara tahun 1000 SM. Jadi, pada masa itu sudah ada kehidupan manusia di Jakarta.

“Dan seperti daerah latnnya, di Jakarta juga ditemukan prasasti. Prasasti Tugu ditemukan di Cilineing. Prasasti itu sarat informasi tentang Kerajaan Tarumanegara dengan Raja Purnawarman. Menurut prasasti itu, Jakarta merupakan wilayah Kerajaan Tarumanegara, kerajaan tertua di Puiau Jawa, di samping Bogor, Banten, Bekasi sampai Citarum di sebelah timur dan Giaruten,” kata Muhammad isa Ansyari SS.

Kronologis Peristiwa Penting
Pada 686 Masehi. Kerajaan Tarumanegara hancur akibat serangan balatentara Kerajaan Sriwijaya. Abad ke-14, Jakarta masuk ke wilayah Kerajaan Pakuan Pajajaran yang sering disebtit Kerajaan Pajajaran, atau Kerajaan Sunda. Kerajaan Pajajaran memiiiki enam petabuhan, diantaranya pelabuhan Sunda Kalapa. Kota pelabuhan ini terletak di Teluk Jakarta – di muara sungai Citiwung – yang merupakan pusat perdagangan paling penting seiak abad ke-12 hingga ke-16.

Senin, 21 Agustus 1522. Begitu pentingnya, Sunda Kalapa tak luput dari incaran orang-orana Portugis yang sejak tahun 1511 sudah bercokol di daratan Malaka. Keinginan mereka mendapatkan sambutan baik dari Raja Pajajaran. Selain berkepentingan soal perdagangan, Raja Pajajaran juga bermaksud meminta bantuan orang-orang Portugis dalam menghadapi orang-orang Islam, yang sudah banyak pengikutnya di Banten dan Cirebon. Demak, kala itu, sudah menjadi pusat kekuatan dan penyebaran agama Islam.

Perjanjian kerjasama pun ditandatangani antara Raja Pajajaran dan orang Portugis. Isinya orang Portugis ditzinkan mendirikan benteng di Sunda Kalapa, yang ditandai di tepi sungai Ciliwung. Rabu 22 Juni 1527. Perjanjian itu tak dapat diterima Demak, Kerajaan Islam yang saat itu sedang berada di puncak kejayaan.

“Sultan Demak mengirimkan balatentaranya, yang dipimpin sendiri oleh menantunya, Fatahillah. Pasukan Fatahillah berhasil menduduki Sunda Kalapa pada 1527. Tatkala armada Portugal datang, pasukan Fatahillah menghaneurkannya. Sia-sia armada Portugal itu hengkang Ke Malaka,” ujar Muhammad Isa Ansyari SS.

Dengan kemenangan itu Fatahillah menggantt nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta. Artinya “Kemenangan Berjaya”. Itulah peristiwa bersejarah yang ditetapkan sebagai ‘hari jadl’ Kota Jakarta. Kekuasaan Jayakarta akhirnya berada di tangan Fatahillah, dan makin meluas sampai ke Banten menjadi Kerajaan Islam.

Tahun 1595. Cornells de Houtman dan anak buahnya tiba di perairan Banten. Orang-orang Belanda itu datang mencari rempah-rempah. Persaingan di antara mereka makin ketat dibumbui permusuhan.

Rabu 20 Maret 1602 seorang token dan negarawan Kerajaan Belanda, Johati van Oldenbarneveld, mengambil suatu prakarsa mengumpulkan para pedagang Belanda dalam suatu wadah. Berdirilah serikat dagang Verenigde Oost Indische Compaqnie atau VOC. VOC merupakan wadah konglomerat zaman dulu.

Tahun 1617. Orang-orang Kerajaan Belanda diizinkan berdagang di Jayakarta. Mereka memperoleh sebidang tanah di sebelah timur sungai Ciliwung, di perkampungan Cina. Di situ mereka membangun kantor dan benteng. Kubu pertahanan Kerajaan Belanda itu tak disukai orang Jayakarta, Banten maupun Kerajaan Inggris. Mereka kemudian berperang.

Tahun 1619. Terjadi pertempuran sengit segitiga antara Kerajaan Belanda, Kerajaan Inggris dan Kerajaan Portugal di pelabuhan Sunda Kalapa. Suasana Teluk Jayakarta itu sekejab menjadi merah api dan merah darah. Di laut teluk banyak bergelimpangan mayat-mayat serdadu Kerajaan Belanda dan Kerajaan Portugal setelah kedua negara kerajaan itu habis digempur pasukan laut Kerajaan Inggris. Inggris menang dalam perang itu.

Kamis, 30 Mei 1619, JP Goen menaklukkan kembali sekaligus menguasai Jayakarta. Saat itu armada Kerajaan Inggris sudah tidak ada lagi karena telah berangkat berlayar menuju Australia, meninggalkan Jayakarta. Sedang armada (laut Kerajaan Portugal pergi menuju ke wilayah ujung timur Nusantara, tepatnya di Timor Timur.

“Jayakarta pada tahun tersebut memasuki lembaran baru. Nama Jayakarta diubah Kerajaan Belanda menjadi Batavia. Nama Batavia ini berasal dari nama Batavieren, bangsa Eropa yang menjadi nenekmoyang Kerajaan Belanda,” tukas Muhammad Isa Ansyari SS.

VOC mula-mula menjadikan Batavia sebagai pusat perdagangan dan pemerintahan. Dengan kepiawaian kompeni lewat intrik dan politik adu domba atau cfewtte et impera terhadap raja-raja di Nusantara. Seluruh wilayah Nusantara dijarahnya. Kejayaannya pun berlangsung cukup lama.

Tahun 1798. VOC jatuh dan dibubarkan. Kekuasaan, harta benda dan utangnya yartg 134,7 juta gulden diambil alih Pemerintahan Kerajaan Belanda. Rabu, 1 Januari 1800, Indonesia sejak itu diperintah langsung oleh Pemerintah Kerajaan Belanda. Suatu majelis untuk urusan jajahan Asia lalu didirikan.

Namun, awal Maret 1942, Kerajaan Jepang merebut kekuasaan dari Kerajaan Belanda pada Perang Dunia ke-2. Nama Batavia dikubur balatentara Kerajaan Jepang. Dan, nama Jakarta menggantikannya sampai sekarang.
This entry was posted in :
Siapa tak kenal burung Garuda berkalung perisai yang merangkum lima sila (Pancasila). Tapi orang Indonesia mana sajakah yang tahu, siapa pembuat lambang negara itu dulu? Dia adalah Sultan Hamid II, yang terlahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung Sultan Pontianak; Sultan Syarif Muhammad Alkadrie. Lahir di Pontianak tanggal 12 Juli 1913.

Dalam tubuhnya mengalir darah Indonesia, Arab –walau pernah diurus ibu asuh berkebangsaan Inggris. Istri beliau seorang perempuan Belanda yang kemudian melahirkan dua anak –keduanya sekarang di Negeri Belanda.

Syarif Abdul Hamid Alkadrie menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS di Bandung satu tahun, THS Bandung tidak tamat, kemudian KMA di Breda, Negeri Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda.

Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi Sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II. Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) berdasarkan konstitusi RIS 1949 dan selalu turut dalam perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda.



Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran. Pada 21-22 Desember 1949, beberapa hari setelah diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio, Westerling yang telah melakukan makar di Tanah Air menawarkan “over commando” kepadanya, namun dia menolak tegas. Karena tahu Westerling adalah gembong APRA. Selanjutnya dia berangkat ke Negeri Belanda, dan pada 2 Januari 1950, sepulangnya dari Negeri Kincir itu dia merasa kecewa atas pengiriman pasukan TNI ke Kalbar – karena tidak mengikutsertakan anak buahnya dari KNIL.

Pada saat yang hampir bersamaan, terjadi peristiwa yang menggegerkan; Westerling menyerbu Bandung pada 23 Januari 1950. Sultan Hamid II tidak setuju dengan tindakan anak buahnya itu, Westerling sempat di marah. Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, dia diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama jabatan menteri negara itu ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara. Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan file dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara.

Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis M Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah. Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR RIS adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang. Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.

Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri. AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan “tidak berjambul” seperti bentuk sekarang ini. Inilah karya kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS.

Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950. Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno. Tanggal 20 Maret 1950, bentuk final gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk final rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini.


Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974 Rancangan terakhir inilah yang menjadi lampiran resmi PP No 66 Tahun 1951 berdasarkan pasal 2 Jo Pasal 6 PP No 66 Tahun 1951. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah Pontianak. Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang.

Turiman SH M.Hum, Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak yang mengangkat sejarah hukum lambang negara RI sebagai tesis demi meraih gelar Magister Hukum di Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa hasil penelitiannya tersebut bisa membuktikan bahwa Sultan Hamid II adalah perancang lambang negara. “Satu tahun yang melelahkan untuk mengumpulkan semua data. Dari tahun 1998-1999,” akunya. Yayasan Idayu Jakarta, Yayasan Masagung Jakarta, Badan Arsip Nasional, Pusat Sejarah ABRI dan tidak ketinggalan Keluarga Istana Kadariah Pontianak, merupakan tempat-tempat yang paling sering disinggahinya untuk mengumpulkan bahan penulisan tesis yang diberi judul Sejarah Hukum Lambang Negara RI (Suatu Analisis Yuridis Normatif Tentang Pengaturan Lambang Negara dalam Peraturan Perundang-undangan). Di hadapan dewan penguji, Prof Dr M Dimyati Hartono SH dan Prof Dr H Azhary SH dia berhasil mempertahankan tesisnya itu pada hari Rabu 11 Agustus 1999. “Secara hukum, saya bisa membuktikan. Mulai dari sketsa awal hingga sketsa akhir. Garuda Pancasila adalah rancangan Sultan Hamid II,” katanya pasti. Besar harapan masyarakat Kal-Bar dan bangsa Indonesia kepada Presiden RI SBY untuk memperjuangkan karya anak bangsa tersebut, demi pengakuan sejarah, sebagaimana janji beliau ketika berkunjung ke Kal-Bar dihadapan tokoh masyarakat, pemerintah daerah dan anggota DPRD Provinsi Kal-Bar.

Perancang lambang Garuda pancasila Indonesia yang terlupakan

Siapa tak kenal burung Garuda berkalung perisai yang merangkum lima sila (Pancasila). Tapi orang Indonesia mana sajakah yang tahu, siapa pembuat lambang negara itu dulu? Dia adalah Sultan Hamid II, yang terlahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung Sultan Pontianak; Sultan Syarif Muhammad Alkadrie. Lahir di Pontianak tanggal 12 Juli 1913.

Dalam tubuhnya mengalir darah Indonesia, Arab –walau pernah diurus ibu asuh berkebangsaan Inggris. Istri beliau seorang perempuan Belanda yang kemudian melahirkan dua anak –keduanya sekarang di Negeri Belanda.

Syarif Abdul Hamid Alkadrie menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS di Bandung satu tahun, THS Bandung tidak tamat, kemudian KMA di Breda, Negeri Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda.

Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi Sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II. Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) berdasarkan konstitusi RIS 1949 dan selalu turut dalam perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda.



Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran. Pada 21-22 Desember 1949, beberapa hari setelah diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio, Westerling yang telah melakukan makar di Tanah Air menawarkan “over commando” kepadanya, namun dia menolak tegas. Karena tahu Westerling adalah gembong APRA. Selanjutnya dia berangkat ke Negeri Belanda, dan pada 2 Januari 1950, sepulangnya dari Negeri Kincir itu dia merasa kecewa atas pengiriman pasukan TNI ke Kalbar – karena tidak mengikutsertakan anak buahnya dari KNIL.

Pada saat yang hampir bersamaan, terjadi peristiwa yang menggegerkan; Westerling menyerbu Bandung pada 23 Januari 1950. Sultan Hamid II tidak setuju dengan tindakan anak buahnya itu, Westerling sempat di marah. Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, dia diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama jabatan menteri negara itu ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara. Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan file dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara.

Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis M Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah. Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR RIS adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang. Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.

Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri. AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan “tidak berjambul” seperti bentuk sekarang ini. Inilah karya kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS.

Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950. Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno. Tanggal 20 Maret 1950, bentuk final gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk final rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini.


Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974 Rancangan terakhir inilah yang menjadi lampiran resmi PP No 66 Tahun 1951 berdasarkan pasal 2 Jo Pasal 6 PP No 66 Tahun 1951. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah Pontianak. Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang.

Turiman SH M.Hum, Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak yang mengangkat sejarah hukum lambang negara RI sebagai tesis demi meraih gelar Magister Hukum di Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa hasil penelitiannya tersebut bisa membuktikan bahwa Sultan Hamid II adalah perancang lambang negara. “Satu tahun yang melelahkan untuk mengumpulkan semua data. Dari tahun 1998-1999,” akunya. Yayasan Idayu Jakarta, Yayasan Masagung Jakarta, Badan Arsip Nasional, Pusat Sejarah ABRI dan tidak ketinggalan Keluarga Istana Kadariah Pontianak, merupakan tempat-tempat yang paling sering disinggahinya untuk mengumpulkan bahan penulisan tesis yang diberi judul Sejarah Hukum Lambang Negara RI (Suatu Analisis Yuridis Normatif Tentang Pengaturan Lambang Negara dalam Peraturan Perundang-undangan). Di hadapan dewan penguji, Prof Dr M Dimyati Hartono SH dan Prof Dr H Azhary SH dia berhasil mempertahankan tesisnya itu pada hari Rabu 11 Agustus 1999. “Secara hukum, saya bisa membuktikan. Mulai dari sketsa awal hingga sketsa akhir. Garuda Pancasila adalah rancangan Sultan Hamid II,” katanya pasti. Besar harapan masyarakat Kal-Bar dan bangsa Indonesia kepada Presiden RI SBY untuk memperjuangkan karya anak bangsa tersebut, demi pengakuan sejarah, sebagaimana janji beliau ketika berkunjung ke Kal-Bar dihadapan tokoh masyarakat, pemerintah daerah dan anggota DPRD Provinsi Kal-Bar.
Agak sulit membayangkan Indonesia tanpa sepak bola. Sepak bola sudah menjadi olahraga rakyat di negeri berpenduduk 230-an juta ini. Bahkan, sebelum digempur neolieralisme, hampir setiap kampung punya lapangan bola.

Sepak bola dicintai banyak orang Indonesia. Bung Karno juga sebetulnya pencita sepak-bola. Pada masa kecilnya, kira-kira umur 10 tahun, Bung Karno sangat berminat pada perkumpulan sepak-bola. Tan Malaka juga pencinta sepak bola.

Sayang, jaman itu, sepak bola seolah diharamkan bagi bumiputra. Saat itu, Bung Karno bermukim di Mojokerto. Anak-anak belanda tidak mau bermain bola dengan anak-anak bumiputera. Tidak jarang tertempel tulisan Verboden voor Inlanders en Houden atau Dilarang Masuk untuk Pribumi dan Anjing di setiap pintu lapangan sepak bola.

Tak mau menyerah, kaum pribumi membuat klub sendiri. Bahkan, mereka sering membuat kompetisi sendiri. Dari situlah berdiri Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia (sekarang PSSI). Perkumpulan ini dipimpin oleh Ir Soeratin Sosrosoegondo.

Cita-cita Bung Karno menjadi anggota perkumpulan sepak-bola pun kandas. Meski demikian, Bung Karno tetap berhubungan dengan para penggagas sepak bola bumiputera. Kelak, sepak bola ini menjadi ajang konsolidasi gerakan.



Perhatian Bung Karno terhadap bola tidak pudar. Begitu Indonesia merdeka, sepak bola menjadi salah satu cabang olahraga yang diprioritaskan untuk dikembangkan agar bisa mendulang prestasi di tingkat dunia.

Usaha itu tidak sia-sia. Tahun 1954, PSSI melakukan lawatan ke sejumlah negara Asia (Filipina, Hongkong, Thailand, dan Malaysia). Hampir semua tim negara tersebut berhasil ditaklukkan. PSSI mencetak 25 gol dan hanya kemasukan 6 gol. 19 gol diborong oleh Ramangpemain PSSI kelahiran Makassar yang bertindak sebagai penyerang.

PSSI saat itu diperkuat oleh pemain-pemain handal: Ramang sanga (striker), Maulwi Saelan (kiper), Rasjid, Chaeruddin, Ramelan, Sidhi, Tan Liong Houw, Aang Witarsa, Thio Him Tjiang, Danu, Phoa Sin Liong, dan Djamia.

Tak puas berjaya di Asia, PSSI mulai menjajal timnas atau klub-klub eropa: Yugoslavia, Uni Soviet, klub Stade de Reims, klub Locomotive, dan lain-lain. Indonesia juga sempat melibas RRT (Repulik Rakyat Tiongkok) dengan skor 2-0. Dua gol itu diciptakan Ramang. Satu gol diciptakan dengan tendangan salto.

Pada Asian Games tahun 1958, Indonesia mendapat perunggu dari cabang sepak bola. Sedangkan pada saat Olimpiade di Melbourne, Australia, tahun 1956, Indonesia sempat menahan imbang raksasa Uni Soviet. PSSI baru ditundukkan setelah perpanjangan waktu. Soviet sendiri jadi juara umum kala itu.

Bung Karno sendiri menganggap olahraga sangat penting. Terlebih bagi bangsa Indonesia yang sedang menjalankan nation building. Olahraga, di mata Bung Karno, adalah alat revolusi. Karenanya, ia segera mengeluarkan Kepres No 263/1963 untuk mencanangkan Indonesia jadi 10 besar dalam bidang olahraga.

Tidak berhenti di situ, Soekarno juga menganggap olahraga sebagai proses pembangunan kembali martabat bangsa. Karenanya, pada tahun 1958, Bung Karno berniat membangun gelanggang olahraga. Proyek itu meraup anggaran sebesar US$ 12,5 juta atau Rp 117,6 miliar. Semuanya atas bantuan Uni Soviet.

Istana Olahraga (Istora) selesai dibangun pada 21 Mei 1961: Stadion Renang, Stadion Madya, dan dan Stadion Tenis (Desember 1961), Gedung Basket (Juni 1962), serta Stadion Utama (21 Juli 1962). Kompleks stadion olahraga dibangun selama 2 1/2 tahun, siang dan malam oleh 14 insinyur Indonesia, 12.000 pekerja sipil dan militer bergantian dalam 3 shift.

Yang menarik, Bung Karno sukses membangun stadion sepak bola yang bisa menampung 100.000 orang. Stadion inikelak bernama Gelora Bung Karno (GBK)termasuk stadion terbesar dan termegah pada jamannya. Stadion ini menggunakan arsitektur temu gelang (melingkar). Sayang, pada tahun 2007, stadion ini disusutkan kapasitasnya menjadi 80.000.

Bung Karno sendiri mengatakan, Ya, memberantas kelaparan memang penting, tetapi memberi makan kepada jiwa-jiwa yang telah diinjak-injak (kolonialisme) dengan sesuatu yang dapat membangkitkan kebanggaan merekainipun penting.

Ingat stadion Gelora Bung Karno (GBK) berarti ingat Bung Karno. Stadion GBK adalah satu-satunya yang tersisa dari jaman kejayaan sepak-bola kita. Sayang, pemerintah sekarang tak punya perhatian terhadap sepak bola.

Soekarno dan sepak bola

Agak sulit membayangkan Indonesia tanpa sepak bola. Sepak bola sudah menjadi olahraga rakyat di negeri berpenduduk 230-an juta ini. Bahkan, sebelum digempur neolieralisme, hampir setiap kampung punya lapangan bola.

Sepak bola dicintai banyak orang Indonesia. Bung Karno juga sebetulnya pencita sepak-bola. Pada masa kecilnya, kira-kira umur 10 tahun, Bung Karno sangat berminat pada perkumpulan sepak-bola. Tan Malaka juga pencinta sepak bola.

Sayang, jaman itu, sepak bola seolah diharamkan bagi bumiputra. Saat itu, Bung Karno bermukim di Mojokerto. Anak-anak belanda tidak mau bermain bola dengan anak-anak bumiputera. Tidak jarang tertempel tulisan Verboden voor Inlanders en Houden atau Dilarang Masuk untuk Pribumi dan Anjing di setiap pintu lapangan sepak bola.

Tak mau menyerah, kaum pribumi membuat klub sendiri. Bahkan, mereka sering membuat kompetisi sendiri. Dari situlah berdiri Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia (sekarang PSSI). Perkumpulan ini dipimpin oleh Ir Soeratin Sosrosoegondo.

Cita-cita Bung Karno menjadi anggota perkumpulan sepak-bola pun kandas. Meski demikian, Bung Karno tetap berhubungan dengan para penggagas sepak bola bumiputera. Kelak, sepak bola ini menjadi ajang konsolidasi gerakan.



Perhatian Bung Karno terhadap bola tidak pudar. Begitu Indonesia merdeka, sepak bola menjadi salah satu cabang olahraga yang diprioritaskan untuk dikembangkan agar bisa mendulang prestasi di tingkat dunia.

Usaha itu tidak sia-sia. Tahun 1954, PSSI melakukan lawatan ke sejumlah negara Asia (Filipina, Hongkong, Thailand, dan Malaysia). Hampir semua tim negara tersebut berhasil ditaklukkan. PSSI mencetak 25 gol dan hanya kemasukan 6 gol. 19 gol diborong oleh Ramangpemain PSSI kelahiran Makassar yang bertindak sebagai penyerang.

PSSI saat itu diperkuat oleh pemain-pemain handal: Ramang sanga (striker), Maulwi Saelan (kiper), Rasjid, Chaeruddin, Ramelan, Sidhi, Tan Liong Houw, Aang Witarsa, Thio Him Tjiang, Danu, Phoa Sin Liong, dan Djamia.

Tak puas berjaya di Asia, PSSI mulai menjajal timnas atau klub-klub eropa: Yugoslavia, Uni Soviet, klub Stade de Reims, klub Locomotive, dan lain-lain. Indonesia juga sempat melibas RRT (Repulik Rakyat Tiongkok) dengan skor 2-0. Dua gol itu diciptakan Ramang. Satu gol diciptakan dengan tendangan salto.

Pada Asian Games tahun 1958, Indonesia mendapat perunggu dari cabang sepak bola. Sedangkan pada saat Olimpiade di Melbourne, Australia, tahun 1956, Indonesia sempat menahan imbang raksasa Uni Soviet. PSSI baru ditundukkan setelah perpanjangan waktu. Soviet sendiri jadi juara umum kala itu.

Bung Karno sendiri menganggap olahraga sangat penting. Terlebih bagi bangsa Indonesia yang sedang menjalankan nation building. Olahraga, di mata Bung Karno, adalah alat revolusi. Karenanya, ia segera mengeluarkan Kepres No 263/1963 untuk mencanangkan Indonesia jadi 10 besar dalam bidang olahraga.

Tidak berhenti di situ, Soekarno juga menganggap olahraga sebagai proses pembangunan kembali martabat bangsa. Karenanya, pada tahun 1958, Bung Karno berniat membangun gelanggang olahraga. Proyek itu meraup anggaran sebesar US$ 12,5 juta atau Rp 117,6 miliar. Semuanya atas bantuan Uni Soviet.

Istana Olahraga (Istora) selesai dibangun pada 21 Mei 1961: Stadion Renang, Stadion Madya, dan dan Stadion Tenis (Desember 1961), Gedung Basket (Juni 1962), serta Stadion Utama (21 Juli 1962). Kompleks stadion olahraga dibangun selama 2 1/2 tahun, siang dan malam oleh 14 insinyur Indonesia, 12.000 pekerja sipil dan militer bergantian dalam 3 shift.

Yang menarik, Bung Karno sukses membangun stadion sepak bola yang bisa menampung 100.000 orang. Stadion inikelak bernama Gelora Bung Karno (GBK)termasuk stadion terbesar dan termegah pada jamannya. Stadion ini menggunakan arsitektur temu gelang (melingkar). Sayang, pada tahun 2007, stadion ini disusutkan kapasitasnya menjadi 80.000.

Bung Karno sendiri mengatakan, Ya, memberantas kelaparan memang penting, tetapi memberi makan kepada jiwa-jiwa yang telah diinjak-injak (kolonialisme) dengan sesuatu yang dapat membangkitkan kebanggaan merekainipun penting.

Ingat stadion Gelora Bung Karno (GBK) berarti ingat Bung Karno. Stadion GBK adalah satu-satunya yang tersisa dari jaman kejayaan sepak-bola kita. Sayang, pemerintah sekarang tak punya perhatian terhadap sepak bola.
Berdirinya Kerajaan Kutai
Letak Kerajaan Kutai berada di hulu sungai Mahakam, Kalimantan Timur yang merupakan Kerajaan Hindu tertua di Indonesia. Ditemukannya tujuh buah batu tulis yang disebut Yupa yang mana ditulis dengan huruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta tersebut diperkirakan berasal dari tahun 400 M (abad ke-5). Prasasti Yupa tersebut merupakan prasasti tertua yang menyatakan telah beridirinya suatu Kerajaan Hindu tertua yaitu Kerajaan Kutai.
Tidak banyak informasi mengenai Kerajaan Kutai. Hanya 7 buah prasasti Yupa terseubt lah sumbernya. Penggunaan nama Kerajaan Kutai sendiri ditentukan oleh para ahli sejarah dengan mengambil nama dari tempat ditemukannya prasasti Yupa tersebut.
Yupa adalah tugu batu yang berfungsi sebagai tugu peringatan yang dibuat oleh para Brahmana atas kedermawanan Raja Mulawarman. Dituliskan bahwa Raja Mulawarman, Raja yang baik dan kuat yang merupakan anak dari Aswawarman dan merupakan cucu dari Raja Kudungga, telah memberikan  20.000 ekor sapi kepada para Brahmana.

Dari prasati tersebut didapat bawah Kerajaan Kutai pertama kali didirikan oleh Kudungga kemudian dilanjutkan oleh anaknya Aswawarman dan mencapai puncak kejayaan pada masa Mulawarman (Anak Aswawarman). Menurut para ahli sejarah nama Kudungga merupakan nama asli pribumi yang belum tepengaruh oleh kebudayaan Hindu. Namun anaknya, Aswawarman diduga telah memeluk agama Hindu atas dasar kata 'warman' pada namnya yang merupakan kata yang berasal dari bahasa Sanskerta.

Kejayaan Kerajaan Kutai
Tidak banyak informasi mengenai Kerajaan Kutai yang temukan. Tetapi menurut prasasti Yupa, puncak kejayaan Kerajan Kutai berada pada masa kepemerintahan Raja Mulawarman. Pada masa pemerintahan Mulawarman, kekuasaan Kerajaan Kutai hampir meliputi seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kerajaan Kutai pun hidup sejahtera dan makmur. 

Sejarah Kerajaan Kutai | www.zonasiswa.com
Yupa


Keruntuhan Kerajaan Kutai
Kerajaan Kutai berakhir saat Raja Kutai yang bernama Maharaja Dharma Setia tewas dalam peperangan melawan Aji Pangeran Sinum Panji yang merupakan Raja dari Kerajaan Kutai Kartanegara. Kerajaan Kutai dan Kerajaan Kutai Kartanegara merupakan dua buah kerajaan yang berbeda. Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri pada abad ke-13 di Kutai Lama. Terdapatnya dua kerajaan yang berada di sungai Mahakam tersebut menimbulkan friksi diantara keduanya. Pada abad ke-16 terjadi peperangan diantara kedua Kerajaan tersebut.

Raja-raja Kerajaan Kutai

Berikut di bawah ini merupakan daftar raja-raja yang pernah memimpin Kerjaan Kutai, diantaranya adalah sebagai berikut:
  1. Maharaja Kudungga, gelar anumerta Dewawarman (pendiri)
  2. Maharaja Aswawarman (anak Kundungga)
  3. Maharaja Mulawarman (anak Aswawarman)
  4. Maharaja Marawijaya Warman
  5. Maharaja Gajayana Warman
  6. Maharaja Tungga Warman
  7. Maharaja Jayanaga Warman
  8. Maharaja Nalasinga Warman
  9. Maharaja Nala Parana Tungga
  10. Maharaja Gadingga Warman Dewa
  11. Maharaja Indra Warman Dewa
  12. Maharaja Sangga Warman Dewa
  13. Maharaja Candrawarman
  14. Maharaja Sri Langka Dewa
  15. Maharaja Guna Parana Dewa
  16. Maharaja Wijaya Warman
  17. Maharaja Sri Aji Dewa
  18. Maharaja Mulia Putera
  19. Maharaja Nala Pandita
  20. Maharaja Indra Paruta Dewa
  21. Maharaja Dharma Setia

Kehidupan Sosial-Ekonomi dan Kebudayaan Kerajaan Kutai

Melihat bahwa letak Kerajaan Kutai pada jalur perdagangan dan pelayaran antara Barat dan Timur, maka aktivitas perdagangan menjadi mata pencaharian yang utama. Rakyat Kutai sudah aktif terlibat dalam perdagangan internasional, dan tentu saja mereka berdagang pula sampai ke perairan Laut Jawa dan Indonesia Timur untuk mencari barang-barang dagangan yang laku di pasaran Internasional.

Dalam hal kebudayaan sendiri ditemukan dalam salah satu prasasti Yupa menyebutkan suatu tempat suci dengan nama "Wapakeswara" (tempat pemujaan Dewa Siwa). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masyarakat Kutai memeluk agama Siwa.

Sejarah Kerajaan Kutai

Berdirinya Kerajaan Kutai
Letak Kerajaan Kutai berada di hulu sungai Mahakam, Kalimantan Timur yang merupakan Kerajaan Hindu tertua di Indonesia. Ditemukannya tujuh buah batu tulis yang disebut Yupa yang mana ditulis dengan huruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta tersebut diperkirakan berasal dari tahun 400 M (abad ke-5). Prasasti Yupa tersebut merupakan prasasti tertua yang menyatakan telah beridirinya suatu Kerajaan Hindu tertua yaitu Kerajaan Kutai.
Tidak banyak informasi mengenai Kerajaan Kutai. Hanya 7 buah prasasti Yupa terseubt lah sumbernya. Penggunaan nama Kerajaan Kutai sendiri ditentukan oleh para ahli sejarah dengan mengambil nama dari tempat ditemukannya prasasti Yupa tersebut.
Yupa adalah tugu batu yang berfungsi sebagai tugu peringatan yang dibuat oleh para Brahmana atas kedermawanan Raja Mulawarman. Dituliskan bahwa Raja Mulawarman, Raja yang baik dan kuat yang merupakan anak dari Aswawarman dan merupakan cucu dari Raja Kudungga, telah memberikan  20.000 ekor sapi kepada para Brahmana.

Dari prasati tersebut didapat bawah Kerajaan Kutai pertama kali didirikan oleh Kudungga kemudian dilanjutkan oleh anaknya Aswawarman dan mencapai puncak kejayaan pada masa Mulawarman (Anak Aswawarman). Menurut para ahli sejarah nama Kudungga merupakan nama asli pribumi yang belum tepengaruh oleh kebudayaan Hindu. Namun anaknya, Aswawarman diduga telah memeluk agama Hindu atas dasar kata 'warman' pada namnya yang merupakan kata yang berasal dari bahasa Sanskerta.

Kejayaan Kerajaan Kutai
Tidak banyak informasi mengenai Kerajaan Kutai yang temukan. Tetapi menurut prasasti Yupa, puncak kejayaan Kerajan Kutai berada pada masa kepemerintahan Raja Mulawarman. Pada masa pemerintahan Mulawarman, kekuasaan Kerajaan Kutai hampir meliputi seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kerajaan Kutai pun hidup sejahtera dan makmur. 

Sejarah Kerajaan Kutai | www.zonasiswa.com
Yupa


Keruntuhan Kerajaan Kutai
Kerajaan Kutai berakhir saat Raja Kutai yang bernama Maharaja Dharma Setia tewas dalam peperangan melawan Aji Pangeran Sinum Panji yang merupakan Raja dari Kerajaan Kutai Kartanegara. Kerajaan Kutai dan Kerajaan Kutai Kartanegara merupakan dua buah kerajaan yang berbeda. Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri pada abad ke-13 di Kutai Lama. Terdapatnya dua kerajaan yang berada di sungai Mahakam tersebut menimbulkan friksi diantara keduanya. Pada abad ke-16 terjadi peperangan diantara kedua Kerajaan tersebut.

Raja-raja Kerajaan Kutai

Berikut di bawah ini merupakan daftar raja-raja yang pernah memimpin Kerjaan Kutai, diantaranya adalah sebagai berikut:
  1. Maharaja Kudungga, gelar anumerta Dewawarman (pendiri)
  2. Maharaja Aswawarman (anak Kundungga)
  3. Maharaja Mulawarman (anak Aswawarman)
  4. Maharaja Marawijaya Warman
  5. Maharaja Gajayana Warman
  6. Maharaja Tungga Warman
  7. Maharaja Jayanaga Warman
  8. Maharaja Nalasinga Warman
  9. Maharaja Nala Parana Tungga
  10. Maharaja Gadingga Warman Dewa
  11. Maharaja Indra Warman Dewa
  12. Maharaja Sangga Warman Dewa
  13. Maharaja Candrawarman
  14. Maharaja Sri Langka Dewa
  15. Maharaja Guna Parana Dewa
  16. Maharaja Wijaya Warman
  17. Maharaja Sri Aji Dewa
  18. Maharaja Mulia Putera
  19. Maharaja Nala Pandita
  20. Maharaja Indra Paruta Dewa
  21. Maharaja Dharma Setia

Kehidupan Sosial-Ekonomi dan Kebudayaan Kerajaan Kutai

Melihat bahwa letak Kerajaan Kutai pada jalur perdagangan dan pelayaran antara Barat dan Timur, maka aktivitas perdagangan menjadi mata pencaharian yang utama. Rakyat Kutai sudah aktif terlibat dalam perdagangan internasional, dan tentu saja mereka berdagang pula sampai ke perairan Laut Jawa dan Indonesia Timur untuk mencari barang-barang dagangan yang laku di pasaran Internasional.

Dalam hal kebudayaan sendiri ditemukan dalam salah satu prasasti Yupa menyebutkan suatu tempat suci dengan nama "Wapakeswara" (tempat pemujaan Dewa Siwa). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masyarakat Kutai memeluk agama Siwa.